Sabtu, 31 Desember 2016

5 Desember (4)




Hari ini memang sudah bukan tanggal 5 Desember, tapi tanggal 31. Artinya, hari terakhir di tahun masehi 2016. Tulisan ini harusnya aku posting 5 Desember kemarin ya? Nah, itu bukti bahwa saking sibuknya aku bulan ini, aku.. ah alasan, sudahlah. Manusia memang seperti itu, maunya mencari pembenaran tapi kadang enggan menerima alasan. Seperti saat ini.

Atau seperti kemarin gaes.

Tugas video simulasi Judicial Interpreting untuk mata kuliah Interpreting. Baik kami akui ini pure our carelessness. Videonya harus dikumpul saat itu juga, tidak ada alasan ini, tidak ada kebijaksanaan itu. Sementara video kami masih diedit saat itu. Masih rendering, kalau ditunggu kira-kira 20 menitan lagi. Kemudian dosennya bilang (kira-kira seperti ini), “Kalian sudah diberi waktu yang cukup untuk mengerjakan video, tapi sekarang banyak dari kalian yang belum siap.” Dan  dia tidak bertanya seperti ini, “Kemana saja kalian sampai baru mengerjakan tugas ini?”. Karena memang beliau tidak butuh alasan. Oke fakta, kita semua tahu angkatan 2014 sedang disibukkan dengan persiapan pementasan Januari (nanti). Jadi untuk apa lagi bertanya-tanya alasan dibalik ketidakbecusan kami mengumpulkan tugas? hah akupadamu mam Ariana.

*

Gaes, hari ini tidak akan ada basabasi busuk semacam, “wah tidak terasa ya, besok tahun 2017, padahal rasanya baru kemarin kita tahun baruan di kost-nya Rina.”

Karena nyatanya memang tidak.

Januari ke Februari, kemudian Maret lalu April dan seterusnya sangat ‘terasa’. Tahun ini begitu padat. Ada begitu banyak peristiwa, dan banyak perjalanan. Bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan mental.

Terutama Desember. Bulan yang selalu punya daya tarik emosional. Bisa jadi karena anak-anak sekolah sudah terima rapor lantas tidak repot lagi bangun pagi. Bisa jadi karena ‘orang-orang sibuk’ terharu membayangkan mereka bisa bersantai, keluar sejenak dari rutinitas.

*

Perihal tahun 2016, tahun tersebut dimulai dengan sedikit drama. Entah kenapa Januari saat itu moodku benar-benar kacau. EQ-ku bisa dibilang baring di titik terendah. Diriku sudah keterlaluan melankolis. Sangat tidak mengenakkan. Contohnya seperti ini:

Pagi-pagi di kampus aku mules, ini aku kenapa ya? Apa aku sakit?
Liat di grup Line ramai sedang aku tidak tahu apapun, ini mereka kenapa ya? Kemudian gara-garanya berbagai nethink bermunculan. Kenapa tidak ada yang mencoba melibatkan aku? Apa aku kurang seru? Atau jangan-jangan aku tidak penting di grup? Dan sederet pikiran-pikiran kotor lainnya.

Kemelankolisan itu menyebabkan masalah.


Senin, 28 November 2016

The Making of The Fall of The Imam Movie



Setelah beberapa rapat yang cukup alot perihal menentukan waktu dan lokasi di mana AG34 (kelas kami) akan melakukan proses syuting film, akhirnya berhasil ditetapkan, kami akan berangkat Rabu, 23 November 2016 dan pulang tepat seminggu kemudian di hari Selasa, 29 November 2016. Lokasinya berpusat di satu tempat saja, yaitu Rammang-rammang, Kabupaten Maros.

Banyak pertimbangan dan perdebatan sebelum akhirnya kami memutuskan take film di sana. Salah satunya akomodasi 45 orang ke sana. Kelas kami bukan kelas yang ingin repot-repot menghadapi "masalah keuangan yang tidak mencukupi". Kami tidak ingin menyusahkan diri menghabiskan dana yang begitu banyaknya. Semester 5 masih panjang. Sehingga keputusan untuk take film di Kabupaten Maros kami rasa sudah tepat. 

Pembuatan film ini sendiri adalah pengalaman baru bagi sebagian besar dari kami. Sebagian kecilnya lagi, punya sedikit pengalaman dan gambaran tentang pembuatan film. 

Kamis, 17 November 2016

Buku: Mystery of Yellow Room


Satu dari tiga novel misteri ruang tertutup terbaik sepanjang masa
(Edward D. Hoch, 1981)

Mystery of Yellow Room
Le mystere de la Chambre Jaune
Terbit pertama kali di Prancis tahun 1908
oleh penerbit Editions Pierre Lafitte
Penulis: Gaston Leroux
Penyunting: Zulfa Simatur; Penerjemah: Preti Prabowo
Visimedia 2013

Joseph Rouletabille, wartawan muda yang juga detektif amatir bersaing dengan Frederick Larsan, seorang detektif profesional dalam mengungkap sebuah misteri kejahatan yang terjadi di sebuah ruangan tertutup, “kamar kuning”, kamar seorang perempuan jelita. Perempuan itu, Mademoiselle Stangerson –putri tunggal Profesor Stangerson, seorang ilmuwan terkenal– nyaris terbunuh di kamar itu. Aparat penegak hukum dibuat kalang-kabut, surat kabar memberitakannya dengan sangat heboh. Prancis pun gempar!

Sebenarnya aku sangat menikmati cerita misteri seperti novel ini. Tapi entah kenapa pas lagi di toko buku, novel-novel misteri jarang terjamah oleh tanganku untuk kemudian dibawa pulang. Novel ini pun sebenarnya aku temukan di suatu obral buku di TB Graha Media M’Tos, yup, buku ini belinya bersamaan dengan Les Miserables 2: Cosette (Lihat reviewnya di sini).

Aku tertarik begitu membaca sinopsisnya di cover belakang. Misteri pembunuhan di ruang tertutup. Nah kebetulan sehari sebelumnya aku lagi gemar-gemarnya nonton anime Detective Conan, daaan episode yang terakhir aku nonton juga mengenai kasus pembunuhan di ruang tertutup.

Selasa, 08 November 2016

Perempuan Patah Hati yang Kemarin Kehilangan Bukunya di Leang-leang




Jadi beberapa minggu lalu aku jalan-jalan ke Kabupaten Maros tepatnya di salah satu taman prasejarahnya, Leang-leang. Ke sananya berempat sama Riri, Mute, dan Arjum. Gak dalam rangka apa-apa sih, cuma mau ke sana aja, refreshing. Sebenarnya ini kali kedua aku ke sana, Februari kemarin kan sempat ke sini juga. Cuma DUA KALI mana bisa puas keliling Leang-leang.

Malam sebelumnya aku begadang bikin orderan scrapframe, itupun masih lanjut pagi harinya, trus mandi dan langsung cus ke Leang-leang. Makanya pas sampai di sana aku mager, pengennya baring terus.

Apalagi bertepatan hari Minggu, banyak anak-anak sekolahan study tour ke sini kan, duh, bikin gak leluasa. Jadi, sembari menunggu pengunjung sepi, kami menepi di taman yang terletak di seberang sungai, yang sering ke sana pasti tahu tempatnya.

Dengan Ummah

Sampai sore aku tidak beranjak dari sana, menghindari teriknya matahari. Selain itu, mana sanggup move coba kalau dibuai angin sepoi-sepoi begitu. Jadi, aku jauh-jauh dibawa ke Leang-leang cuma nyender di bawah pohon sambil baca bukunya Eka Kurniawan, Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Trus gimana dong? Soalnya udah posisi wuenak banget. Hahaha.


Malah di bawah pohon itu aku berhasil menyelesaikan buku tersebut. Akhirnya punya situasi yang kondusif untuk membaca novel tanpa merasa dibebani pikiran tentang tugas-tugas kampus, ehh, tugas? Apa itu tugas? Kata kerja kah? Kata benda? Uh.

Novel PPHKMCMM (maaf disingkat, aga cape ngetiknya mz/mb *&%@$#$@!) merupakan kumpulan cerpen, yang andai ini kedai makanan, aku dengan senang hati berkunjung ke sana setiap waktu, memesan semua menunya, dan menikmati setiap kunyahanku. Eh. ANALOGI MACAM APA INI?

Kamis, 03 November 2016

Norwegian Wood & Remaja Kepala Dua




Norwegian Wood

Haruki Murakami
Original title: Noruwei no Mori
Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Penerjemah: Jonjon Johana; Penyunting: Yul Hamiyati
Cetakan keenam, Agustus 2015

Ketika ia mendengar Norwegian Wood karya Beatles, Toru Watanabe terkenang akan Naoko gadis cinta pertamanya, yang kebetulan juga kekasih mendiang sahabat karibnya, Kizuki. Serta-merta ia merasa terlempar ke masa-masa kuliah di Tokyo, hampir 20 tahun silam, terhanyut dalam dunia pertemanan yang serba pelik, seks bebas, nafsu-nafsi, dan rasa hampa hingga ke masa seorang gadis badung, Midori, memasuki kehidupannya, sehingga ia harus memilih antara masa depan dan masa silam.



Dulu sekali, sebelum muncul niatan untuk membaca buku terjemahan ini, aku hanya menduga-duga. Dari judulnya, Norwegian Wood, aku mengira isinya bercerita tentang hidup seorang tukang kayu atau desainer interior atau apalah. Apeu.

Hingga suatu hari aku membaca sinopsisnya di Goodreads dan beberapa blog buku, barulah disitu aku tahu, gak ada tuh tukang kayu-tukang kayu-an sama sekali. Sebenarnya aku mauuuu sekali baca bukunya Murakami yang lain, Sputnik Sweetheart dan IQ84 (absolutely ya) tapi kebetulan stoknya lagi kosong. Ada sih jilid 2 dan 3, tapi yang bener aja dong ya. 

Buku ini pun aku gak beli (ye yeeee), tapi hadiah pas ultah dari seseorang (sebut jangan, ya?). Dan Norwegian Wood menjadi buku Murakami pertamaku.

Begitu selesai membaca buku ini, aku cek reviewnya di Goodreads, ternyata komentarnya seru, hampir seperti instagramnya artis tanah air ajee, ada pro ada kontra. Yang frontal juga banyaakk. Begini ya, setiap orang punya perspektif punya sense yang berbeda, dan tentu aja, konsumsi buku yang berbeda. Misalkan seorang comic lover, dan seorang buku-filosofis freak, ketika diberikan satu novel yang sama, hasilnya tentu saja beda bu, tapi bukan berarti tidak bisa mendekati.

Ini aku bicara apa ya? Sorry tadi sore abis ujan-ujanan (trus?) jadi gitu deh wqwq




Kisah dibuka tokoh utama, yang berada dalam pesawat Boeing 747 dan seketika ingatannya terlempar ke masa remajanya hampir 20 tahun yang lalu. Ketika Watanabe Toru duduk di bangku kuliah.

Flashback Karena Dengar Lagu

Sejak jaman dahulu kala, aku percaya mendengar lagu tertentu bisa membangkitkan memori tertentu. Misal dengar lagunya Sorry Sorry-nya Suju, aku tiba-tiba merasa jadi anak kelas 8 SMP lagi, yang pusingnya paling cuma karena salah roster mapel (Ekha banget yaampun beb). Sekarang? jangan ditanya plz.

Bukan lagu aja sih, barang-barang atau kegiatan tertentu juga bisa memancing kita untuk flashback. Iya kan? Bahkan ada kejadian orang yang menyimpan struk belanjanya pas ke luar negeri untuk pertama kalinya, ada yang simpan batu dari pulau favoritnya. Biar apa? Tau sendiri lah.

Senin, 31 Oktober 2016

Mata yang Enak Dipandang





 Mata yang Enak Dipandang 
Ahmad Tohari
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama 2013

“Buku ini merupakan kumpulan lima belas cerita pendek Ahmad Tohari yang tersebar di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997.
Seperti novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah dengan segala lika-likunya.
Ahmad Tohari sangat mengenal kehidupan mereka dengan baik. Oleh karena itu, ia dapat melukiskannya dengan simpati dan empati sehingga kisah-kisah itu memperkaya batin pembaca.”



Seperti yang sudah disebutkan, buku ini berisi 15 cerpen Ahmad Tohari yang pernah dimuat di media cetak. Dan judul buku ini, Mata yang Enak Dipandang diambil dari salah satu cerpen di dalamnya.

Daftar cerpen pengisi:
Mata yang Enak Dipandang (Hal. 7)
Bila Jebris Ada di Rumah Kami (Hal. 19)
Penipu yang Keempat (Hal. 29)
Daruan (Hal. 39)
 
Warung Penajem (Hal. 51)
Paman Doblo Merobek Layang-layang (Hal. 63)
Kang Sarpin Minta Dikebiri (Hal. 75)
Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan (Hal. 87)
Sayur Bleketupuk (Hal. 97)
Rusmi Ingin Pulang (Hal. 107)
Dawir, Turah, dan Totol (Hal. 117)
Harta Gantungan (Hal. 131)
Pemandangan Perut (Hal. 143)
Salam dari Penyangga Langit (Hal. 155)
Bulan Kuning Sudah Tenggelam (Hal. 165)



Mata yang Enak Dipandang

“Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang. Ya, kukira betul, mata orang yang suka memberi memang enak dipandang.” –hal.14

Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak dipandang dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering melihat berpasang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata yang dingin seperti mata bambu, mata yang menyesal karena telah tertumbuk pada sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat jauh. –hal.15


Aku kemudian penasaran setelah mendengar pendapat pengemis tunanetra, Mirta dan penuntunnya, Tarsa. Bagi pengemis yang tiap harinya bergumul di antara ribuan pasang mata manusia –makhluk sesamanya– ada perbedaan yang mereka temukan dalam cara mereka memandang. Manusia sama yang selalu melihat berbeda dan juga selalu ingin terlihat berbeda padahal sama saja.

Lalu aku penasaran lagi. Bagaimana aku terhadap orang lain? Apa aku sudah terlihat menyenangkan? Atau paling tidak, apa ada yang merasa mataku layak untuk dipandang?


Senin, 24 Oktober 2016

Terima Kasih Lelah - Fivefoot Story








Puisi oleh Bebhen Fivefoot

Terima Kasih Lelah

Aku bukan burung yang pandai terbang dengan sayap
Aku bukan bayangan yang apabila gelap akan menghilang
Apa yang menghalang hati ini berkembang
Atau mungkin karena kamu lebih betah dengannya?

Bukan lelah berharap, Bukan menyesali doa yang telah terucap
Tapi hanya kau yang berhasil mengindahkan hati ini
Kau yang menanam rasa hingga matahari terbenam
Dimata, kita saling bertatapan hingga bayangan itu hilang

Aku menikmati penyesalan ini tapi bukan salahku
Ingat bukan salahku
Kau yang berangkat dengan metafora sesak
Dan mengucapkan selamat tinggal disaat bingkai
Cerita ini menjadi lelap

Malam ini kubelajar melihat bintang
Aku sadar ini sebuah tantangan
Semoga bulan memberiku titik terang hingga aku tenang

Mataku dan matamu akan selalu melihat dunia,
Dunia tetap menyatukan kita walau hanya menampung cerita
Tanya dan jawab tanpa jawaban sekali lagi

Terimakasih lelah



Minggu, 23 Oktober 2016

Les Miserables 2: Cosette





Sayangnya aku belum memiliki bagian pertama dari novel ini (Les Miserables 1: Fantine). Buku ini pun kudapatkan secara kebetulan di TB Graha Media M’Tos pertengahan Agustus.


Tapi karena sebelumnya pernah menonton filmnya, dan saking sukanya aku nonton berkali-kali, maka dengan pedenya aku baca saja buku keduanya meski belum membaca yang pertama.

Buku kedua ini yang masih bersetting negara Prancis pertengahan abad 17, melanjutkan kisah di buku pertama dimana Jean Valjean berencana menemukan seorang gadis kecil bernama Cosette yang merupakan anak dari mendiang Fantine –wanita yang sekarat di jalanan setelah kehilangan pekerjaannya.

Jadi, aku sudah punya gambaran bahwa di buku pertama ini berkisah dari keluarnya Jean Valjean dari penjara yang benar-benar telah merenggut semua kebahagiaannya. Valjean dihukum pada tahun 1796 untuk kasus pencurian. Namun keluar dari penjara bukan berarti kebabasan baginya. Ia tetaplah seorang tahanan yang hidupnya di bawah pengawasan polisi kota. Karena keinginannya untuk hidup layak, Valjean akhirnya kabur ke kota kecil M. Sur M., mengubah identitasnya dan memulai kehidupan baru yang didambanya. 

August to October Read-list




Sudah pertengahan bulan Oktober, gak lama lagi November, trus Desember. Sekarang-sekarang saja sudah sibuk gila, gak sanggup bayangin besok-besoknya. Terutama di semester 5 ini ada pementasan drama, puisi, dan film. Belum orderan crafting yang datang semena-mena. Kadang, aku dengan egoisnya mangkir, bolos dari kelas astaghfirullah.

Tapi mengeluh bisa  bantu apa? Malah menambah beban yang sudah berat sedemikian rupa. Kamu harus strong Ekha!

Tapi bagus sih kalau sibuk. Kemarin pas lagi kosong aku malah bingung mau ngapain hahaha. Paling membaca. Kebanyakan buku pelajaran dan novel lama. Belum bisa foya-foya di toko buku, pengeluaran semester ini kan ada banyak sekalee. Gile aje belanja belinji novel tapi tidak memperhatikan buku pelajaran (yang seringkali sekadar dibeli, belum tentu dibaca sampe tamat) hahaha.

Jadi selama Agustus sampai Oktober aku hanya membeli 7 buku, dapat 3 buku pemberian, 1 e-book plus 5 buku pinjam dari teman hehehe. Tapi daftar buku yang ingin kubaca masih banyak banyak banyak sekali. Pengen cepat-cepat selesai semester 5 aja. Huhu. Atau kamu mau berbaik hati kirimkan aku buku? Ah aku gak mungkin menolak.

Agustus
  1. Victor Hugo – Les Miserables 2: Cosette 
  2. Gaston Leroux – Mystery of Yellow Room 
  3. Idrus – Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (e-book)

Kamis, 20 Oktober 2016

Balada Nama



Nama saya Ekha.

Nama panjangnya Ekhaaaaaaaaa.

Nama lengkap? Ekha Nurul Hudaya.

 

Yang benar itu Ekha.

Kalau menuliskan namaku, tolong jangan sampai salah. E-K-H-A. Iya, ada huruf H di depan K. Biasa ya, ada yang cuma menuliskan E, K, dan A doang, gak pake H. Kadang-kadang, saya protes “Apa susahnya menambahkan satu karakter lagi?”, lalu kebanyakan jawabannya seperti ini: “Apa pengaruhnya coba huruf H-nya itu?”. 

 

Tapi iya, saya juga pernah berfikir. Apa pengaruhnya? Ekha dan Eka kan homofon? Kenapa sampai protes?

 

Menurutku itu adalah hakku untuk protes, bahkan harus. Saya tidak mungkin menunggu sampai terjadi kesalahan semisal tidak lulus suatu tes karena terjadi data error. Ya kan?

 

Alasan lainnya, aku sangat menghargai nama pemberian orangtuaku. Melihat kesalahan penulisan namaku di dokumen tertentu,  absen atau pengumuman, rasanya ada sesuatu yang kurang mengenakkan *tjiaah

 

Jadi, saya lebih suka dipanggil Ekha, meski dipanggil makan juga ayok banget.

 

Kamis, 13 Oktober 2016

Dear Kamu, Tolong Jaga Kesehatan


Ada yang bilang kesehatan itu mahal. Ah enggak juga. Menjaga kesehatan itu tidak sampai menguras kantong, asal tau caranya, DAN MAU. Yang mahal itu jika tidak menjaga kesehatan diri dengan baik, akhirnya jatuh sakit, dan harus membayar pengobatan. Eh mungkin maksudnya disini, kesehatan itu berharga ya? Oke fix, ini akunya lagi banyak pikiran.

Justru ya, kebanyakan hal yang tidak menyehatkan lebih menguras banyak materi dan tenaga. Seperti konsumsi junk food, termasuk minuman bersoda, minuman beralkohol, maupun rokok. Soal rokok, aku sendiri sebenarnya tidak kontra dengan rokok, banyak kok orang-orang yang saya kenal merokok. Sehari-harinya nongkrong pasti ada orang yang merokok. Selama asapnya tidak mengganggu saya, tidak sampai bikin sesak nafas, tidak masalah, toh bukan uang saya juga yang dipakai. Eh kelihatannya saya ini manusia yang berpikiran praktis ya? Selama tidak terganggu saya adem ayem saja. Tapi jika sudah merasa terusik, barulah saya angkat suara. Dasar.

Jumat, 09 September 2016

Hancurkan, Ralph!






Saya lagi bosan dan bete ya ampun brooo makanya saya berhasil menulis lagi setelah beberapa minggu blog ubur-ubur dianggurin. Oh jadi saya menulis cuma kalau lagi bosan doang? Oh jadi menulis di blog hanya opsi ke sekian sekian gitu? Ya, ya, judge me now.
Tapi tadi saya serius bilang lagi bete. Ah kapan sih Ekha lu gak bete? *ihhaa’       
Serius  lo ini.
Mau tau karena apa?          
Tanyain dong..        
Yah? yah?
Hening..
Dan emang gak penting ditanyakan.

Kita balik ke jalan yang benar ya, topik pembicaraan yang sebenarnya.
Baiklah, jadi begini ceritanya:
Pernah kah kalian, di suatu hari yang cerah, kalian menyadari, merenung, hal baik apa yang sudah kalian lakukan untuk orang lain. Apakah kalian cukup baik untuk diingat di setiap pembicaraan yang menyenangkan, atau cukup disayangkan bila tidak sempat hadir di suatu pertemuan. Apakah kalian ini sebakul nasi atau semangkuk acar?
Kemudian pikiran buruk itu datang. Kita merasa kurang baik, merasa tidak berguna, merasa terpinggirkan, lalu merasa harus menyalahkan hidup yang tidak adil.
Mungkin itulah yang dirasakan Ralph.
Ralph yang hidup dalam program game, Wreck It Ralph –err ralat, game Fix It Felix.
Ya, adalah Felix yang menjadi karakter utama game tersebut, bukan Ralph. Jadi ngapain namanya Ralph yang nampang di judul game itu.
Tapi Ralph-lah yang menjadi tokoh utama di film animasi besutan Disney, Wreck It Ralph, bukan Felix.
Ralph adalah lelaki tradisional yang lahir, besar, dan hidup di hutan. Badannya besar, sesuai dengan tangan besarnya yang kuat. Baginya, hutan adalah segalanya –segala kebahagian yang bisa kausebutkan, ibunya, kekasihnya, rumahnya, permatanya, dan pelindungnya.
Kita tahu, sesuatu yang tradisional harus selalu berusaha keras untuk bertahan. Bertahan di tengah gempuran modernisasi. Dan segera itulah yang harus diterima Ralph, saat hutan  diinvasi orang-orang kota. Sebuah apartemen dibangun di situ!

Selamat Datang Adik-adik Maba






SELAMAT MENEMPUH HIDUP SEMESTER BARU GAES.

Saya sendiri sudah memasuki semester 5, huaah how time flies

By the way, selamat datang adik-adik maba yang minggu lalu selesai di ospek ciee, selamat berjuang dalam studi, selamat bergulat dalam perantauan, dan selamat bertemu orang-orang baru, ya pokoknya usahakan sampai di “tujuan” dengan selamat hahaha.

Karena oh karena kita tidak tahu, hal apa yang menanti di depan kita.

Tapi kita semua tahu fakta bahwa kehidupan SMA/sederajat berbeda dengan kehidupan perkuliahan. Ada orang yang secara mentalitas belum siap, akhirnya menyerah dan berhenti di tengah jalan, astaga bro begini, kalau mau berhenti di pinggir jalan dong, biar gak bikin jalanan macet, ih apakah Ekha, krik krik.


Kalau bisa diumpamakan nah, kalau bisa, memasuki kehidupan kampus seperti mengikuti The Hunger Games. Kita lagi hidup asyik masyuk tiba-tiba nama kita yang  keluar undiannya. Kalau undian arisan sih enak, bisa pergi kanmakan, tapi disini kita harus berjuang, mau tak mau harus belajar cara untuk bertahan hidup, juga bertahan menahan godaan. Terutama bagi anak-anak perantauan yang jauh dari keluarganya.

Di The Hunger Games, ada sejumlah aturan main yang dirancang oleh Capitol. Begitu pun di kampus, kita semua berada dalam lingkaran, persegi, segitiga, atau apa pun bentuknya, kita mahasiswa berada di dalam BATAS yang telah dibuat oleh birokrasi. Yang perlu kita lakukan hanya menjaga langkah agar tidak offside, patuh sebagaimana seorang pengendara diatur marka jalan yang bisu. Jadi kedengarannya seperti mahasiswa bukan mengikuti sistem, tapi bagian dari sistem itu sendiri. Eh bicara apa saya ini.

Dan lagi di The Hunger Games, aturan sempat diubah seenak jidat demi mendongkrak sensualitas permainan, demi kepuasaan penonton, tanpa membuka mata dengan penderitaan dan resiko yang dihadapi para tribut, ah jangan lupa tribut-tribut ini punya keluarga. Bayangkan anak-anak kalian, yang masih muda, diambil secara acak mewakili distrik untuk kemudian diadu, ini manusia, bukan ayam jago men.

Jika di filmnya para tribut mau tak mau harus membunuh atau dibunuh secara harfiah, tapi di kehidupan kampus, yang bisa saja terbunuh adalah kebebasan, atau yang paling sedihnya, karakter. Karakter mahasiswa akan perlahan-lahan mati suri. Sebenarnya karakter itu sendiri apa? Kebebasan apa? Entahlah. Seseorang tolong jelaskan.


Kalau diumpamakan lagi, duh maafkan, dari tadi saya bisanya cuma berumpama. Kita semua adalah anak yang disuapi ikan teri, dari kepala, badan sampai ekor semua masuk ke mulut, bodo amat ikan terinya digoreng atau direbus, dipancing di laut atau dibeli di pasar. Seperti itu. 

Terlepas dari itu, terserah kalian sih bagaimana menginterpretasinya, atau kalian mau berbagi pemikiran? Boleh lah. Kebetulan saya suka mendengarkan.

Dear adik-adik maba, selamat menyandang gelar “maha”siswa, belajarlah dengan baik, kalian harus dan pasti bisa lebih baik.

Jangan jadi saya. Jangan. Ah apalah saya ini, hanya acar di meja prasmanan.


Anyway, sekali lagi selamat datang di semester baru!

Rabu, 31 Agustus 2016

Surat Untuk Bulan


Senin, 29 Agustus 2016

Di Penghujung Usia Belasan




Tumbuh dewasa bukan masalah sama sekali, melupakan adalah masalah.
-Pilot, The Little Prince Movie


Sejak setahun yang lalu, saat diriku akhirnya menginjak usia 19, aku mendamba untuk membuat tulisan –semacam surat. Surat yang sudah pasti sarat akan permintaan dan keinginan yang ingin kucapai di masa kepala duaku. Sebelas bulan kemudian, seperti yang kita duga, aku masih belum menulis apapun.

Senin, 22 Agustus 2016

Selasa, 19 Juli 2016

Rule #32: Enjoy Little Things


Menonton film bisa kita sebut rutinitas sabtu malamnya Ekha di liburan semester kali ini, karena sepanjang yang saya ingat hal itulah yang saya lakukan wqwqwq

 

Well, sabtu malam kemarin, saya menonton marathon tiga film sekaligus. Dibuka dengan film yang dibintangi Katie Holmes, Touched With Fire (2016) dilanjutkan Infinitely Polar Bear (2015), kemudian ditutup dengan film yang berbeda dari dua film sebelumnya, Zombieland (2009).

 

Setelah lebih dari enam jam nonton marathon, ngos-ngosan liat Emma Stone dikejar zombie, perut sudah keroncongan, mata sepet-sepet makan sahur nonton tivi eh itu sih lirik lagunya OVJ ya hoho yang paling utama, saya merasa ada korelasi di ketiga film tersebut.

 

Entah benar ada korelasinya atau tidak, atau sayanya aja yang maksain ada, ayo kita cari tahu.

 

 

Film pertama, Touched With Fire.

Garis besar dari film ini adalah kehidupan orang-orang yang mengidap Bipolar. For the first time in my life, melalui film ini, saya mendengar istilah Manic Depressive, Lithium, dan bagaimana negara lain di luar sana menangani orang Bipolar (kalau di Indonesia sendiri saya tidak tahu menahu ya).

 

Lucia Carla (Katie Holmes) adalah seorang penyair yang sedang dalam pengobatan karena Manic Depressive yang dialaminya semakin memburuk. Pada musim gugur, Carla harus mengikuti sebuah terapi kelompok di rumah sakit jiwa. Di sanalah ia bertemu Marco (Luke Kirby) yang juga menyebut dirinya penyair.

 

Marco sangat terobsesi dengan bulan karena nama penanya adalah Luna. Lebihnya ia menganggap jika dirinya bukan berasal dari planet bumi tapi tempat lain di ruang antariksa dan yakin suatu saat bisa pulang ke sana (Mungkin Marco juga terobsesi dengan The Little Prince?).

 

Hubungan mereka kian erat manakala setiap malam, mereka mengadakan pertemuan rahasia di ruang relaksasi dan melakukan ini dan itu (bingung bagaimana mendeskripsikannya haha), intinya, setelah pihak RSJ mengetahui keadaan mereka semakin gila jika mereka bersama, maka Carla dan Marco pun dipisahkan.