Sabtu, 28 Desember 2019

5 Desember (7)



Awal tahun 2019 ini aku mulai disibukkan dengan revisi skripsi. Astaga akhirnya saat seperti itu tiba juga. Aku mengumpulkan uang untuk membeli sebuah printer yang bisa untuk scan dan fotokopi juga. Demi mendukung perskripsianku. Tapi baru beberapa bulan dipakai, printer itu tidak kupakai lagi, cartridge bermasalah dan aku malas untuk memperbaikinya.

Sabtu, 14 Desember 2019

Diskusi dalam Rangka 16 HAKTP: Perkawinan Bukan Kepentingan Anak


Hai, it’s me again. Masih di bulan yang sama, saya sempat ke Perpustakaan BaKTI lagi. Setelah kemarin datang untuk ikut Diskusi Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, kemarin saya ikut Diskusi dalam Rangka 16 HAKTP: Perkawinan Bukan Kepentingan Anak. For your information, 16 HAKTP adalah 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang berlangsung setiap tanggal 25 November sampai 10 Desember, lebih lanjut baca di sini: 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

 

UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan (Perubahan Undang-Undang UU No. 1 Tahun 1974) mengubah batas minimal menikah baik laki-laki dan perempuan yang akan menikah minimal di usia 19 tahun. Sebelumnya, batas usia menikah bagi laki-laki ialah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Hal ini merupakan langkah yang baik untuk menekan perkawinan anak.

Meski batas usia perkawinan perempuan sudah dinaikkan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, bukan berarti perkawinan anak tidak akan terjadi lagi, justru yang dikhawatirkan ke depannya kemungkinan permohonan dispensasi perkawinan jadi meningkat. Dispensasi perkawinan adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah, meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Nah apakah di lingkunganmu masih ada yang hendak menikah setelah lulus SMA/sederajat? Kalau iya, itu bisa masuk kategori pernikahan anak mengingat rata-rata usia lulus sekolah adalah 16-18 tahun (di bawah 19 tahun).

 

Selasa, 10 Desember 2019

16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Hari ini, 10 Desember adalah hari terakhir rangkaian 16 HAKtP.

16 HAKtP atau 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye nasional yang inisiasi Komnas Perempuan sejak tahun 2003 dalam rangka memperingati kampanye internasional 16 Days of Activism Against Gender Violence. Kampanye ini untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. [1]

Kampanye internasional 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan telah diperingati sejak tahun 1991 dan merupakan gagasan dari Women’s Global Leadership Institute dengan bantuan dukungan oleh Center for Women Global Leadership.

Kampanye ini dilakukan setiap tahun mulai tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan sampai dengan 10 Desember, yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia internasional.

Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. 



25 November; Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan untuk Mirabal Sisters (Patria, Minerva & Maria Teresa) yang gugur pada tanggal yang sama di tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki tangan penguasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yaitu Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran. Tanggal ini sekaligus juga menandai pengakuan kekerasan berbasis gender. Tanggal ini dideklarasikan pertama kalinya sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama.

 

Minggu, 08 Desember 2019

Diskusi: Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak


Tadi malam saya berkesempatan datang ke Perpustakaan BaKTI untuk menyimak diskusi bertajuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yang diinisiasi Perempuan (di) Makassar bekerja sama dengan yayasan BaKTI.

Diskusi ini dibawakan oleh Ibu Lusi Palulungan dan Ibu Husaema Husain, membahas pemahaman tentang beragam bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak serta langkah preventif untuk mencegahnya. Dan untuk mencegah, kita harus memahami terlebih dahulu bentuk-bentuknya. Kekerasan berbasis gender ini bisa terjadi dalam bentuk fisik, psikologis, dan seksual. Sehingga intimidasi dan alienasi terhadap perempuan atas kinerjanya dalam pekerjaannya di masyarakat juga termasuk kategori kekerasan terhadap perempuan.

 

Mengapa kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak dibicarakan? Bukankah laki-laki juga bisa mengalami kekerasan?

 

Contohnya bisa kita ambil dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dianggap sebagai hal yang lumrah dan merupakan ranah pribadi. Hal tersebut yang kerap kali membatasi korban untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialami dan memilih mendiamkan kekerasan yang dialami. Apalagi jika pelaku kekerasan adalah suami yang menjadi pencari nafkah keluarga. Juga dapat diperparah dengan anggapan dan label negatif dari keluarga dan sekitar yang lekat dengan budaya patriarki dan toxic masculinity. Perempuan dianggap harus patuh terhadap suami termasuk menerima kekerasan. Tidak terbatas pada hubungan suami istri, hampir semua lini kehidupan bermasyarakat, menempatkan perempuan sebagai yang liyan. Pemahaman akan kesetaraan gender pun hanya berkutat di perayaan Hari Kartini dan kesalahpahaman antara kodrat dan gender.

 

Jika kebanyakan pelaku adalah orang terdekat, lantas  di mana tempat yang aman bagi perempuan?

 

Bahwa kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Dalam hal ini,  perempuan dan anak menjadi kelompok yang paling rentan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak utamanya kekerasan fisik dan seksual yang tidak jarang dilakukan oleh orang terdekat. Kasus-kasus seperti ini pada umumnya berakhir "secara kekeluargaan" dan tidak dilaporkan dan ditindak secara hukum (Bismillah sahkan RUUPKS!)

Senin, 25 November 2019

Arsip; Rock In Celebes 2019




Trans Studio Makassar,

23 November – 24 November 2019.













Semua gambar hanya diambil dengan kamera handphone Oppo A37.

Senin, 18 November 2019

Menari Bersama di Ruang Publik: Indonesia Menari 2019


Demi apa. Kenapa saya mau mau saja ketika saudari saya, Ikha mengajak untuk ikut Indonesia Menari 2019. Menari lho ini, dan public! Normalnya saya akan menjawab tidak. Tetapi karena Ikha yang minta supaya dia ada yang menemani, makanya saya hmm skuy lah. Karena menarinya ramai-ramai dengan peserta lain, jadi mungkin ga bakal ada yang merhatiin saya nari kecuali tim penilai. Ya betul zekali, saya tidak berniat mendapat penilaian tinggi karena sadar diri, maka dari itu saya memakai outfit segakmenonjol mungkin. Maafkan saya hei tim Indonesia Kaya, saya ikut cuma menambah daftar penerima goodie bag kalian. Anyway goodie bag-nya keren lho. Isinya marchendise kaos dan totebag canvas leather keren + sembako sabun, mie, teh javana dan produk Wings lainnya.


Ikha memberitahukan info event tersebut sekitar 2-3 bulan sebelumnya. Ada video di channel Youtube Indonesia Kaya yang bisa kita akses untuk belajar koreografi Indonesia Menari 2019. Peserta bisa dari berbagai kalangan usia, mau penari ataupun bukan, siapapun boleh asalkan bisa menarikan koreo secara lengkap. Peserta bisa individu, bisa juga kelompok 5-7 orang. 


Musik pengiring Indonesia Menari 2019 ini terdiri dari 7 part sebagai berikut:

  1. Anging Mammiri
  2. Ondel Ondel
  3. Sik Sik Sibatumanikam
  4. Dek Sangke
  5. Gundul Pacul
  6. Manuk Dadali
  7. Closing

Ya memang konsepnya adalah menarikan tari Indonesia dengan konsep modern. 


Acaranya serentak tanggal 17 November di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Makassar, Palembang, dan Medan. Untuk di Makassar, acaranya diadakan di Trans Studio Mall pukul 14.00 (tapi pas hari H ngaret sampai sekitar pukul 15.00)


***

Selama 2 bulan itu saya ngga ada persiapan sama sekali, hanya Ikha yang sesekali terlihat latihan. Kostum pun saya bingung. Nah di 2 minggu terakhir, barulah saya mati-matian menghafal koreo. Susah bos. Sudah tau diriku ini ga lihai menari, malah pede sekali latihan di hari-hari terakhir. Memang dari dulu saya selalu struggle dengan motorik. Saat belajar chord gitar saja, jari-jari ini rasanya berkelahi di atas fret.

Kamis, 31 Oktober 2019

Officially Illustrator





Entah ada angin apa.

Beberapa hari yang lalu ada DM masuk, dari seorang teman.


Sebuah kabar bahagia. Finally. Terima kasih Tuhan. Setelah sebulan dikeluarkan dari kampus, ada tawaran pekerjaan meski tidak sejalan dengan ijazah Sarjana Humanioraku. Menjadi ilustrator.

Selasa, 29 Oktober 2019

Senjakala Kota Nelayan




Oleh: Ekha Nuh
Sabtu kemarin akhirnya saya dan seorang teman berkesempatan lagi berkunjung ke Pantai Marbo di Tallo, Kota Makassar. Kali ini kami ikut nobar film Silent Blues of The Ocean atau “Senandung Sunyi Samudra” yang diadakan Ruang Abstrak Literasi. Pemutaran film ini menghadirkan 3 pembicara, Ibu Saenab sebagai perwakilan nelayan perempuan, Pak Amir yang juga nelayan setempat dan Rifal Najering, sejarawan maritim. Kami berdua sudah tiba di Pantai Marbo sore, sekitar 3 jam sebelum nobar mulai dan masih sempat melihat gelora senja di balik pondasi timbunan beberapa meter tepat di depan. Tenang, berlumpur, berminyak, sampah terapung, dan tak ada riak air. Pemandangan laut yang biasa ditemui di semua pantai proyek reklamasi.

Senin, 07 Oktober 2019

Festival Film Jerman di Makassar

 

dok. pribadi


Festival film yang diadakan Goethe-Institut Indonesien, German Cinema, kembali dihelat tahun ini mulai tanggal 1-6 Oktober 2019. Untuk tahun ini, dalam rangka peringatan 30 Jahre Mauerfall atau 30 tahun runtuhnya Tembok Berlin, akan diputarkan beberapa film berlatar belakang kehidupan di Jerman Timur dan Barat pada Perang Dingin akan diputar, antara lain "Balloon" (2018) karya Michael “Bully” Herbig, ada juga "Gundermann" (2018) karya sutradara Andreas Dresen.


Karena selasa sampai jumat saya ada kerjaan, baru lah saya berencana berangkat hari sabtu. Tapi sayang hari sabtu kemarin saya telat kayaknya ga bakal keburu tiketnya. Jadilah saya hanya bisa datang di hari terakhir event bareng teman kuliah saya, namanya Ajir. Film terakhir dan satu-satunya yang saya nonton di Festival Film Jerman 2019 adalah Balloon (2018), film yang berkisah perihal usaha dua keluarga melarikan diri di tengah tekanan dan pengawasan negara dari Jerman Timur ke Jerman Barat, menggunakan balon terbang yang dirancang sendiri secara diam-diam.

Rabu, 21 Agustus 2019

Wihsudah... Tapi Tak Seindah Instastory




Sore itu saya menangis sendirian dalam waktu yang tidak sebentar. Hanya seorang diri, di lantai 2 gedung dosen yang saat itu sedang sepi. Saya bahkan tidak sanggup mengajak bicara diri sendiri, untuk setidaknya, menenangkan diri. Saya memberi waktu pada diri saya sendiri mencairkan emosi selagi tidak ada orang lain yang melihat betapa jeleknya penampilanku saat itu. Seharian di kampus mengurus ina-inu.


Koridor yang sepi ini rasa-rasanya menyokong ambiance kesahajaan dalam kesendirian. Suara langkah kaki pun nyaris tidak terdengar. Saya perlahan bisa mengatur napas dan merilekskan otot-otot yang tegang. Saya mengatur ulang diri saya, membasuh wajah, melaksanakan salat Ashar masih di lantai yang sama saya menangis tadi. Saya menyelesaikan salat dengan perasaan yang lebih baik, bola mata berangsur dingin, jantung berdetak normal, dan gejolak di perut yang sedikit mereda. Saya mendambakan nasi dan sop ayam Bunda Adab. Semoga belum habis.

Hampir 1 jam yang lalu, saya berada di lantai 4. Berhadap-hadapan dengan dosen penguji yang kutemui sore ini. Saya menemui ibu dosen di ruangannya pukul 16.00 setelah pagi tadi tidak sempat atau menolak menguji skripsi saya pada jadwalnya. Saya mencoba menjelaskan permasalahannya di paragraf ini tapi saya tidak bisa menuliskannya dengan baik, kalimat di kepalaku bersusun bertele-tele dan itu menyedihkan. Saya mengakui kelalaian saya, tapi saya tidak bisa melakukan apa-apa. Semuanya hectic, segala sesuatunya seperti untouchable.

***


Ketika pagi.


Saya tiba 30 menit lebih awal, menunggu di depan ruangan Ibu Dosen sambil membayangkan skenario terbaik dan terburuk—sejauh saya bisa membayangkan—yang bisa kujumpai begitu masuk ke ruangan tersebut.


Selasa, 06 Agustus 2019

Pelarangan Buku: Reproduksi Kebencian

Oleh: Ekha Nuh  dan Muh. Akbar

 

(“Siapakah pemilik sejarah?

Siapa yang menentukan

siapa yang jadi pahlawan

dan siapa yang penjahat?

Siapa pula yang menentukan

akurasi setiap peristiwa?”)

-Leila S. Chudori, Pulang

 

Saat duduk di bangku kelas VIII sekolah menengah pertama di Makassar, tepatnya tahun 2009, adalah kali pertama saya didongengkan kisah G.30.S/PKI. Sebagai seorang bocah yang benar-benar awam akan cerita yang konon terjadi 31 tahun sebelum saya lahir ke dunia, saya akan mempercayai semua yang diberitahukan oleh guru sejarah saya di kelas. Saya memperhatikan ‘kisah pengkhianatan’ tersebut dengan penuh khidmat, bukan hanya karena saya adalah siswa bureng (pemburu ranking), tapi kisah pembunuhan 7 jenderal besar itu bagi saya yang baru berusia 13 tahun, too cruel to be true.

“Kalian semua tahu kan kronologi peristiwa pengkhianatan PKI?”, setidaknya semua siswa menggelengkan kepala kecuali siswa yang memang tidak memperhatikan si Ibu guru sejarah. “Hah? Kalian tidak pernah diberitahu orang tua kalian?” tapi setidaknya kala itu kami semua familiar dengan reputasi buruk kata “PKI”, dalam kehidupan masyarakat kata PKI setara dengan kalimat buruk level paling tinggi yang bisa kalian sebutkan.

“Ingat baik-baik kekejian PKI, semua yang PKI dan anak-anaknya tidak berhak sedikitpun atas kehidupan di Indonesia”. Di akhir kelas, guru sejarah tersebut –yang hingga kini masih kuingat dengan baik, menyuruh kami untuk menonton film Pengkhianatan G.30.S/PKI. Film ‘dokumenter’ tersebut akan diputar ulang dan didiskusikan lagi di akhir bulan September. Oh wake me up when September ends~

 

Jumat, 05 Juli 2019

Film Pendek Frankenstein: Lahir adalah Satu Cara; Cara Kedua adalah Kematian




Film pendek Frankenstein diadaptasi dari novel karangan Mary Shelley saat usianya 18 tahun di Jenewa 1818. Proses lahirnya novel Frankenstein spontan namun bisa saja terinspirasi dari eksperimen serupa pada masa itu.

 

Cerita Frankenstein sendiri sudah dibuat dalam berbagai media dan versi. Ada komik dan film.  Salah satunya Victor Frankenstein (2015) yang diperankan Daniel Radcliffe dan James McAvoy. Film layar lebar ini tidak bisa lah saya bandingkan dengan film versi AG34.  

Kan mustahil James McAvoy saya banding-bandingkan dengan Ryan Athaillah.



Dr. Victor Frankenstein adalah nama si dokter ambisius itu sendiri meski nama Frankenstein juga sudah terlanjur melekat pada si monster buatan. Obsesi menghidupkan orang yang sudah meninggal, sebuah usaha melampaui takdir, menampik rasa sedih kehilangan, dan obsesi akan ilmu pengetahuan.

Tim AG34 memanfaatkan sekali ide cerita melalui narasinya. Karakter yang muncul di cerita asli Frankenstein karya Mary Shelley: adik dokter selaku asisten laboratorium (diperankan Wahyu Ramadhan), dan istri dokter (diperankan Rabiatul Adawiyah) dimunculkan alami, ga ada redundansi. Serta karakter yang saya duga adalah kembangan tim produksi AG34: Bong si pengamen (diperankan Heriadi). Bong adalah representasi dunia luar dan liar, yang merujuk pada buku asli, adalah esensi yang mengajarkan Frankenstein akan dunia kehidupan keduanya. Social class is a nature to live in.

Senin, 22 April 2019

Giveaway Marjin Kiri: Setan Van Oyot

dok. pribadi

Sebagai orang yang jaraaaaang sekali menang undian giveaway, saya sangat sangat senang ketika nama saya diumumkan di Instagram Marjin Kiri. Gila. Akhirnya bisa ngerasain kebahagiaan ini, terima kasih Ya Allah. Mana hadiahnya buku terbaru terbitan Marjin Kiri. Judulnya Setan Van Oyot.


Waktu itu tuh saya lagi kosbang (kosong banget) dan cuma scroll ig aja. Nah pas liat storynya Marjin Kiri Publishing, ada quiz seputar buku yang akan rilis waktu itu. Pertanyaannya kira-kira begini: Penulis Setan Van Oyot mendapat inspirasi dari pelesetan nama tsb dari salah satu politikus kontroversial di Indonesia. Siapakah dia?
Nah saya eksplor lidah saya mengucap berulang-ulang Setan van Oyot, ga lama lidah saya terpeleset dan akhirnya dapat jawaban: Sety* Nov*nto??? 

Rabu, 09 Januari 2019

Tempat Terbaik di Dunia

 



Penulis: Roanne van Voorst

diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Martha Dwi Susilowati

Penerbit : CV Marjin Kiri

ISBN: 978-979-1260-79-4

tebal: vi + 192 hlm; 14 x 20,3 cm

Cetakan pertama, Juli 2018



Roanne, seorang peneliti dari Belanda menuliskan ceritanya selama hidup di tengah kehidupan marjinal bantaran kali ibukota. Karena Roanne melakukan penelitian dengan metode partisipatif, sehingga dia kemudian tinggal di sana dan berbaur selama setahun.


Di pembuka buku, Roanne mengungkap bahwa tulisannya berusaha untuk tidak terlalu sentimental dalam menggambarkan kampung bantaran kali, kampung yang dia akui sebagai tempat terbaik di dunia. Roanne bercerita apa yang dia alami termasuk berkenalan dengan teman-teman baru —yang meski hanya dalam waktu setahun, tapi mereka berbagi banyak cerita— cukup untuk menghadirkan ikatan emosional di antara mereka. Tokoh di buku ini menggunakan nama-nama samaran untuk menjaga identitas asli, hal ini juga untuk membuat Roanne merasa leluasa menceritakan kondisi sosial politik yang sedikit jumawa perihal bantaran kali.


Orang-orang di bantaran kali melakukan banyak hal untuk menghidupi keluarga dan bertahan hidup dari banjir yang bisa 8-10x lebih sering merendam pemukiman tersebut daripada daerah lainnya di Jakarta.