Sabtu, 14 Desember 2019

Diskusi dalam Rangka 16 HAKTP: Perkawinan Bukan Kepentingan Anak


Hai, it’s me again. Masih di bulan yang sama, saya sempat ke Perpustakaan BaKTI lagi. Setelah kemarin datang untuk ikut Diskusi Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, kemarin saya ikut Diskusi dalam Rangka 16 HAKTP: Perkawinan Bukan Kepentingan Anak. For your information, 16 HAKTP adalah 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang berlangsung setiap tanggal 25 November sampai 10 Desember, lebih lanjut baca di sini: 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

 

UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan (Perubahan Undang-Undang UU No. 1 Tahun 1974) mengubah batas minimal menikah baik laki-laki dan perempuan yang akan menikah minimal di usia 19 tahun. Sebelumnya, batas usia menikah bagi laki-laki ialah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Hal ini merupakan langkah yang baik untuk menekan perkawinan anak.

Meski batas usia perkawinan perempuan sudah dinaikkan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, bukan berarti perkawinan anak tidak akan terjadi lagi, justru yang dikhawatirkan ke depannya kemungkinan permohonan dispensasi perkawinan jadi meningkat. Dispensasi perkawinan adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah, meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Nah apakah di lingkunganmu masih ada yang hendak menikah setelah lulus SMA/sederajat? Kalau iya, itu bisa masuk kategori pernikahan anak mengingat rata-rata usia lulus sekolah adalah 16-18 tahun (di bawah 19 tahun).

 

Perkawinan anak di Indonesia sangat tinggi, peringkat kedua di Asia dan ketujuh di dunia. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) BPS tahun 2017 menunjukkan persentase perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah pernah kawin di bawah usia 18 tahun sebanyak 25,71 persen. Sementara pada tahun 2018 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menerima lebih dari 13 ribu permohonan dispensasi kawin yang dimohonkan untuk anak perempuan.

 


Anak Melahirkan dan Mental yang Belum Matang

Pernikahan usia muda bagi seorang anak perempuan sangat rentan dan beresiko. Karena setelah menikah, anak perempuan akan aktif secara seksual, hamil, melahirkan, merawat, dan mengasuh anak. Dengan usia yang sangat muda dan organ reproduksi yang belum siap untuk hamil atau mengandung, anak perempuan beresiko mengalami berbagai gangguan dan penyakit yang berhubungan dengan organ reproduksi, seperti keguguran, melahirkan prematur, dan sebagainya. Belum lagi resiko bayi yang lahir dari ibu-ibu yang masih berumur anak dapat membawa berbagai permasalahan, seperti kurang gizi, stunting, dan sebagainya.

 

Perempuan dianggap siap secara fisik dan dewasa untuk hamil dan merawat anak jika berusia di atas 20 tahun. Jika seorang perempuan menikah di usia 19 tahun ke atas, diharapkan dia akan melahirkan pada usia 20 tahun atau lebih, sehingga dapat meminimalisir segala resiko yang berhubungan dengan organ reproduksi. Menekan angka kematian ibu melahirkan. Di samping itu, usia 19 tahun, baik bagi perempuan maupun laki-laki, juga telah mencapai kedewasaan secara psikologi, sosial, dan spiritual, sehingga pasangan suami-istri diharapkan dapat menata rumah tangga lebih baik.

 

Jika pasangan suami istri menikah setelah mencapai usia 19 tahun, jenjang pendidikan terendah yang ditamatkan adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, kedewasaan berpikir dapat dicapai sehingga dapat mengatasi berbagai permasalahan di dalam rumah tangga lebih baik. Termasuk yang tidak kalah penting, sudah punya kesadaran finansial. Perkawinan anak menghambat anak untuk akses pendidikan yang lebih tinggi, akibatnya anak tidak memperoleh skill yang cukup untuk mencari penghidupan yang layak.

 

Perkawinan anak ini harus ditanggapi sebagai masalah serius karena akan berdampak multi-dimensional, memberi implikasi besar terhadap pembangunan negara, khususnya terkait kualitas dan daya saing sumber daya kaum muda di masa mendatang. Perkawinan anak hanya melahirkan berbagai permasalahan bagi rumah tangga tersebut, keluarga, masyarakat, dan negara. Seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak. Memang pelaku KDRT dapat dilakukan oleh siapa saja, dan dari kelas mana saja, tetapi suami dengan tingkat pendidikan rendah sangat umum melakukan kekerasan. Sementara kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung, maka ibu kandung muda atau ibu kandung yang berasal dari perkawinan anak juga sangat umum.

Karena itu, perkawinan anak tidak bisa diharapkan melahirkan generasi berkualitas untuk negeri ini. Perkawinan anak hanya menghasilkan berbagai permasalahan yang akan menjadi beban masyarakat dan negara. Di samping itu, karena masih berumur anak dengan pola pikir yang belum dewasa, apalagi dengan pendidikan yang rendah, ibu dan bapak ini tidak bisa diharapkan menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Bahkan kemungkinan mereka menjadi pelaku kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anaknya.


Karena itu, untuk kebaikan masa depan anak, akses pendidikan seluas-luasnya harus didukung. Jangan pernah berpikir menikahkan anak adalah solusi. Yang ada hal tersebut malah melanggengkan kemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak.