Sabtu, 18 Januari 2020

Salam Cinta untuk Semua Perempuan yang Berlawan (Termasuk Menolak Catcalling)



Suatu hari di lini masa twitter, di antara banyak cuitan, saya tertarik dengan satu artikel yang dibagikan Magdalene.co. Tulisan berbahasa Inggris yang berjudul Stop Telling Women in Hijab to Accept the “Salaam” Catcalls, ditulis oleh Aulia Rizda Kushardini. Dalam tulisannya, Aulia menekankan pandangannya sebagai wanita berhijab yang tidak lepas dari catcalling –saya tidak mengganti kata tersebut dengan padanan kata yang sekiranya cocok dalam bahasa Indonesia karena memang belum menemukan makna rasa yang sama dengan istilah tersebut. Catcalling sendiri berarti siulan, komentar, panggilan mengenai hal-hal bersifat seksual terhadap perempuan yang lewat di jalan.

 

Tulisan Aulia mengungkapkan kegelisahan yang sama dengan semua perempuan saat harus berjalan kaki. Termasuk perempuan yang menggunakan hijab juga cadar pun tetap tidak bebas dari catcalling. Meski muncul dengan variasi yang berbeda. Saya sebut beberapa contohnya ya: Assalamualaikum ukhti. Masyaallah ukhti. calon istriku yang salihah. Dsb dsb yang kebanyakan terdengar cringey memang. Kalimat-kalimat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pujian. Menurutnya, pujian mestilah bermaksud untuk membangun satu sama lain dalam prosesnya mengembangkan relasi antara pemberi dan penerima pesan. Bahkan bila yang dilontarkan adalah sebuah kalimat salam sekalipun tidak bisa kita lihat sebagai sebuah interaksi. Catcalling hanya eksis dari si pemberi. Kenapa banyak yang menutup mata betapa suitan seperti itu mampu membunuh kepercayaan diri seseorang yang tidak menyukainya. Selanjutnya bisa saja lebih berbahaya daripada catcalling. Karena ketidaksungkanan pelaku catcalling merupakan gambaran relasi kuasa yang timpang.

 

Minggu, 05 Januari 2020

Habitus Parasite



Di hari pertama tahun 2020, saya tidak mempersiapkan sesuatu yang spesial karena saya bukan penjual martabak. Saya menghabiskan hari libur di rumah melakukan hal-hal biasa namun membahagiakan. Lihatlah betapa sederhananya diriku. Mencuci piring, membuat mokacino sacet, membuat bakwan dan bersiap menonton maraton film-film bagus sangatlah membuatku gembira alih-alih keluar di antara tetes hujan yang sedang lucu-lucunya, mencari tempat tongkrongan di café, di mall, di kedai fast-food... huh sejujurnya saya juga akan senang kalau mengunjungi tempat-tempat tersebut. Tapi setiap keluar dari tempat itu saya merasa sedikit hampa. Saya tidak akan bohong kalau semua tempat itu memang menyenangkan. Indah dan berkilau.
Namun bagi seseorang yang sadar akan ketimpangan sebagai keprihatinan etis, agaknya dia akan merasa kurang nyaman berada di lingkungan hedonis. Tapi di sisi lain, justru karena fakta akan ketimpangan yang signifikan itu, tempat-tempat glamor dan barang-barang mewah semakin diminati sebagai upclassing, di mana masyarakat seolah-olah mengalami mobilitas sosial karena peningkatan penghasilan –yang ditunjukkan dengan peningkatan konsumsi atau pemilikan barang. Selera atau cita rasa segelintir orang akan barang terlahir dari struktur sosial dan dipertahankan untuk menegaskan status atau kedudukannya. Pierre Bourdieu mengistilahkannya sebagai habitus.