Minggu, 05 Januari 2020

Habitus Parasite



Di hari pertama tahun 2020, saya tidak mempersiapkan sesuatu yang spesial karena saya bukan penjual martabak. Saya menghabiskan hari libur di rumah melakukan hal-hal biasa namun membahagiakan. Lihatlah betapa sederhananya diriku. Mencuci piring, membuat mokacino sacet, membuat bakwan dan bersiap menonton maraton film-film bagus sangatlah membuatku gembira alih-alih keluar di antara tetes hujan yang sedang lucu-lucunya, mencari tempat tongkrongan di café, di mall, di kedai fast-food... huh sejujurnya saya juga akan senang kalau mengunjungi tempat-tempat tersebut. Tapi setiap keluar dari tempat itu saya merasa sedikit hampa. Saya tidak akan bohong kalau semua tempat itu memang menyenangkan. Indah dan berkilau.
Namun bagi seseorang yang sadar akan ketimpangan sebagai keprihatinan etis, agaknya dia akan merasa kurang nyaman berada di lingkungan hedonis. Tapi di sisi lain, justru karena fakta akan ketimpangan yang signifikan itu, tempat-tempat glamor dan barang-barang mewah semakin diminati sebagai upclassing, di mana masyarakat seolah-olah mengalami mobilitas sosial karena peningkatan penghasilan –yang ditunjukkan dengan peningkatan konsumsi atau pemilikan barang. Selera atau cita rasa segelintir orang akan barang terlahir dari struktur sosial dan dipertahankan untuk menegaskan status atau kedudukannya. Pierre Bourdieu mengistilahkannya sebagai habitus.

Dalam semesta sosial terdapat banyak arena. Ada ekonomi, politik, budaya, juga ada arena intelektual. Katakanlah dalam arena intelektual, setiap aktor yang terlibat pertarungan di dalam berbekal modal (kapital) dan habitus. Habitus sendiri bisa dipahami sebagai sebuah pengetahuan yang sudah ada dan ia membentuk pandangan setiap aktor dalam memaknai arenanya. Konsekuensinya ada dua habitus itu bertahan atau tergantikan dengan habitus baru.
Setiap individu mengenyam habitus yang tercermin dari preferensi budaya, serta gaya ruang hidup. Gaya hidup kemudian menjadi pembenaran yang meneguhkan posisi seseorang terhadap kelas, menjadi justifikasi bagi seseorang untuk menentukan tinggi-rendahnya status (Bourdieu, 1984: 6). Preferensi tersebut menjadi pembedaan (distinction) yang berarti membedakan diri untuk menunjukkan kelasnya dalam masyarakat.
Saya dan kalian bisa memilih untuk tidak ikut meramaikan pembedaan (distinction) tersebut dengan tidak mengikuti laku konsumtif berlebihan atau misal dengan nongkrong di warung kopi kecil, wah ada beberapa rekomendasi tempat ngopi yang tidak kalah nyaman sekaligus membantu penghasilan usaha warga kecil, atau dengan memakai pakaian anti kemapanan yang mana semuanya itu bisa disebut sebagai perlawanan (resistance).
***
Baiklah, saya sudah menyusun daftar film yang akan menemani saya menghabiskan siang hingga malam. Salah satunya adalah Parasite. Saya ingat menonton film ini enam bulan yang lalu, setelah berhasil memaksa seorang kawan untuk menemani saya hari itu. Sebenarnya bukan fakta penting untuk kalian tahu, tapi saya yang menulis jadi tolonglah. Nah, sepulang dari bioskop saya masih terpukau untuk ke sekian kalinya dengan Bong Joon Ho. Dia selalu berhasil menggambarkan realita sosial, dan kita para penonton akan sok menghubung-hubungkan interpretasi kita terhadap film pada kehidupan pribadi kita. Apalagi film besutan Bong Joon Ho tidak akan jauh-jauh dari permasalahan keluarga, ketimpangan sosial dan kesenjangan kemanusiaan. Parasite sendiri dimaknai sebagai analogi dari makhluk yang bergantung pada makhluk lain (inang) tanpa memberi bantuan atau manfaat lain padanya. Persis seperti yang digambarkan oleh Gita Gutawa dalam lirik lagunya, Parasit. Mulanya malu-malu, lalu jadi benalu, minta ini itu kau minta padaku dengan semaumu~
Film Parasite menyorot soal kehidupan antara si miskin dan si kaya. Di mana yang miskin menderita karena berada di tekanan strata sosial dan hidup di rumah semi basement dan tanpa pekerjaan tetap. Sementara yang kaya bisa mendapatkan apapun karena mereka memang mampu membayar untuk itu. Sebuah gambaran umum yang bisa kita lihat di masyarakat. Suatu hari, nasib baik menghampiri Ki Woo, anak lelaki Ki Taek. Dia ditawari untuk mengajar les privat bahasa Inggris menggantikan temannya. Mengingat anggota keluarganya yang lain masih pengangguran, keluarga ini bekerja sama meski harus menggeser dua pekerja lainnya dari rumah keluarga Park. Inilah aslinya partner in crime.
Umumnya penonton akan bereaksi terhadap cara cerdik keluarga Kim; wah memang tidak tahu bersyukur mereka ini. Mereka ingin semuanya. Hal itu didorong oleh adanya gap di antara kaya dan miskin. Kesempatan bagi mereka yang miskin untuk memperoleh kesuksesan bisa jadi satu banding seribu. Di awal cerita, diperlihatkan bahwa Ki Woo dan kakaknya, Ki Jeong merupakan anak-anak cerdas dan berbakat. Kedua orang tua mereka, Ki Taek dan Choong Sook pun sangat rajin. Seperti yang direkam oleh Roanne Van Voorst dalam bukunya Tempat Terbaik di Dunia, bahwa kaum miskin itu tidak ada, yang ada adalah individu-individu miskin. Warga yang tinggal di bantaran kali bukannya miskin karena mereka bodoh dan malas. Warga seperti mereka justru harus menguras tenaga tiap hari hanya untuk mendapatkan kamar sempit dan makan. Kemiskinan dan kekumuhan yang melanda mereka dipandang sinis dengan stigma oleh pemerintah sendiri. Maka tak urung juga orang-orang miskin selalu dikerjai oleh pejabat pemerintah. Terdengar menggelikan tapi begitulah adanya. Warga yang hidupnya cukup beruntung dan tidak memiliki empati cenderung memihak pemerintah untuk ‘mengalihkan’ ruang tempat orang-orang miskin seperti di bantaran kali, dengan alasan naturalisasi kali, penataan kota atau ruang terbuka hijau. Demikian tersebut adalah dominasi simbolik dari masyarakat, yang menutupi ketidakadilan di dalamnya. Dominasi simbolik, menurut Bourdieu adalah bentuk penindasan dengan menggunakan simbol-simbol, tidak dirasakan secara langsung sebagai penindasan, justru terlihat seperti hal yang lazim.
Warga bantaran kali dan warga miskin lainnya tidak mendapatkan kesempatan yang sama seperti setiap orang. Aduh, mana bisa saya setuju setuju saja dengan pernyataan segelintir orang menanggapi anak-anak muda yang terpilih menjadi staf khusus presiden tempo hari semata karena kerja keras mereka belaka, bukan karena lingkaran keluarga mereka yang memberi kesempatan sebesar-besarnya untuk meraih kesuksesan di usia muda. Dalam arena kultural, Bourdieu menyebut adanya strategi reproduksi yang dimainkan para aktor guna mengukuhkan posisinya di arena kultural. Strategi reproduksi, di mana individu atau kelompok ini sadar atau tidak cenderung mempertahankan modal mereka dan secara sensibel mempertahankan atau meningkatkan posisi mereka di struktur kelas, mengkonstitusi suatu sistem yang menjadi produk dari sebuah prinsip generatif yang bersifat menyatukan. Seperti keluarga Park yang kaya, mereka tidak hanya membutuhkan bantuan untuk menjalankan pekerjaan sehari-harinya, seperti guru les, sopir pribadi, dan asisten rumah tangga yang melakukan semua pekerjaan domestik di rumah itu. Lebih dari itu, keluarga Park sedang menegaskan struktur kelas sosial mereka. Sorry to tell you.
Dalam film Parasite, keluarga Kim hanya tertawa menerawang bagaimana seandainya Ki Woo menikah dengan Park Da Hye, anak perempuan Nathan Park. Itu adalah suatu khayalan yang terdengar muluk bagi mereka. Padahal, bagaimana mereka sekeluarga berhasil berkumpul di rumah itu pun masih sulit dipercaya. Wow. Tapi khayalan untuk menikmati hidup selayaknya orang kaya bisa tercapai malam itu, di saat keluarga Park keluar untuk berkemah. Keluarga Kim akhirnya bisa mengekspresikan diri dalam rumah mewah meski bukan miliknya. Ki Jeong berendam di tub sambil menonton televisi, Ki Woo berjemur di bawah matahari yang entah apa istimewanya, mungkin nikmatnya berbeda saat dilakukan di rumah tersebut, hingga malam harinya mereka sekeluarga bisa duduk bersama menikmati berbagai makanan dan mencoba berbagai wine. “memang kita tidak tinggal di sini? Sementara kita bersantai di ruang tamu dengan semua minuman ini. Sekarang kita tinggal di sini, ini rumah kita, hangat kan?” bahwa habitus borjuis yang membutuhkan modal ekonomi telah terkontemplasi ke dalam kesadaran budaya, pemikiran, dan akhirnya tindakan yang dilakukan oleh keluarga Kim. Sehingga tawaran untuk merasakan hidup kelas borjuis sungguh menarik bagi mereka meskipun hanya sesaat.
Ada satu percakapan yang menarik dari keluarga Kim, saat Kim Ki Tae bilang “Nyonya Yeon sangat sederhana dan baik, kaya namun baik”, Choong Soon menimpali, “Bukan ‘kaya namun baik’, tapi ‘karena kaya ia baik’, paham? Andai saja aku punya uang, aku akan sangat baik. Mereka menyimpulkan korelasi antara modal ekonomi dan kemurahan hati seseorang. Hal ini berlanjut menjadi dominasi kekuasaan simbolik, yang mampu menghubungkan modal ekonomi dengan modal kekuasaan simbolik yang terus diproduksi secara alami, dikontemplasikan, lalu terlihat sebagai kedermawanan. Hal itulah yang menyebabkan sebuah kekuasaan dapat berjalan secara terus menerus.
Film Parasite sudah selesai. Seperti biasa, Bong Joon Ho selalu memberi ending menggemaskan sempurna. Saya menjadi overthinking dan itu membuatku lapar. Sebelum beranjak ke film selanjutnya saya harus ke dapur dulu. Setidaknya, ada satu makanan yang tidak menjustifikasi kelas sosial kita. Hanya Indomie, selera kita semua.


1.      Bourdieu, Pierre.1984. Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste. Trans. by Richard Nice. Cambridge: Harvard University Press.
2.      Bourdieu, Pierre. 1996. The Rule of Art, Genesis and Structure of the Literary Field. Trans. by Susan Emanuel. Cambridge: Polity Press.
3.      Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bordieu. Jogjakarta: Jalasutra.
4.      Roanne Van Voorst. 2018. Tempat Terbaik di Dunia. Terj. Oleh Dwi Martha Susilo. Tangerang: Marjin Kiri.