Senin, 20 Juni 2022

Meet Mocca On The Night Like This~




I was at home with my husband and Zen, until the end of the afternoon, Me and Fitri (my sister-in-law) thought about going to TSM. That night, there was a Telkomsel anniversary event that invited the band Mocca. I didn't plan on going there at first, even though I was excited because this was Mocca's first performance in Makassar since the pandemic. But in the end I decided to attend after my husband assured me he could look after Zen for the next few hours.

The last time I had the opportunity to watch Mocca was a long time ago, at Urban GiGS in March 2017.

Rabu, 15 Juni 2022

Cuti Melahirkan 6 Bulan?



Minggu ini santer terdengar wacana DPR yang saat ini diketuai Puan Maharani menyepakati RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak dibahas lanjut untuk menjadi UU, yang salah satu isinya cuti hamil jadi 6 bulan. FYI, regulasi cuti melahirkan yang berlaku saat ini adalah tiga bulan. Sementara itu, di dalam RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), cuti melahirkan ditetapkan selama enam bulan alias bertambah dua kali lipatnya. Kurang lebih begini konsepnya:

“RUU KIA juga mengatur cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan," [1]


Dibilang bagus tentu bagus, sebagai perempuan yang baru saja melahirkan dan tahu sebegitu 'hectic'-nya merawat newborn termasuk pemulihan pasca melahirkan, saya setuju kebijakan ini diperlukan. Masa cuti lebih lama adalah kemajuan dibanding kebijakan cuti melahirkan 3 bulan. Kebijakan ini tentu didukung banyak kalangan, namun disisi lain urgensinya, kebijakan ini bisa jadi rawan blunder buat pegawai perempuan. Perempuan terancam makin didiskriminasi dalam hal mencari kerja. Tidak bekerja 6 bulan, harus digaji pula. Cuti 6 bulan bagi Ibu pekerja juga memperkuat stereotip bahwa pengasuhan adalah urusan perempuan. Budaya patriarki yang kental di Indonesia membuat pembuatan kebijakan bias dengan hanya menekankan Ibu saja untuk lebih lama cuti dengan resiko (bukannya berpikiran negatif dengan bangsa sendiri) kehilangan pekerjaan. Harusnya sih, suami diberi jumlah cuti yang sama.