Minggu ini santer terdengar wacana DPR yang saat ini diketuai Puan Maharani menyepakati RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak dibahas lanjut untuk menjadi UU, yang salah satu isinya cuti hamil jadi 6 bulan. FYI, regulasi cuti melahirkan yang berlaku saat ini adalah tiga bulan. Sementara itu, di dalam RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), cuti melahirkan ditetapkan selama enam bulan alias bertambah dua kali lipatnya. Kurang lebih begini konsepnya:
“RUU KIA juga mengatur cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan," [1]
Dibilang bagus tentu bagus, sebagai perempuan yang baru saja melahirkan dan tahu sebegitu 'hectic'-nya merawat newborn termasuk pemulihan pasca melahirkan, saya setuju kebijakan ini diperlukan. Masa cuti lebih lama adalah kemajuan dibanding kebijakan cuti melahirkan 3 bulan. Kebijakan ini tentu didukung banyak kalangan, namun disisi lain urgensinya, kebijakan ini bisa jadi rawan blunder buat pegawai perempuan. Perempuan terancam makin didiskriminasi dalam hal mencari kerja. Tidak bekerja 6 bulan, harus digaji pula. Cuti 6 bulan bagi Ibu pekerja juga memperkuat stereotip bahwa pengasuhan adalah urusan perempuan. Budaya patriarki yang kental di Indonesia membuat pembuatan kebijakan bias dengan hanya menekankan Ibu saja untuk lebih lama cuti dengan resiko (bukannya berpikiran negatif dengan bangsa sendiri) kehilangan pekerjaan. Harusnya sih, suami diberi jumlah cuti yang sama.
Untuk pegawai laki-laki secara resmi, pemerintah menetapkan cuti selama dua hari. Hal ini mengacu pada UU NO 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, pada tahun 2017 terbit Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) No 24/2017 yang memberi kesempatan pegawai pria untuk mengajukan permohonan cuti karena alasan penting (CAP) saat istri melahirkan, maksimal satu bulan.
Hanya saja, paternity leave ini hanya bisa dilakukan selama istri dirawat di rumah sakit, dengan dilengkapi surat keterangan rawat inap dari rumah sakit. Jatah cuti ini tidak akan mempengaruhi jumlah cuti tahunan dan tidak mengurangi jumlah gaji pokok ditambah sejumlah tunjangan.
Kita semua paham besarnya manfaat keterlibatan Ayah dalam proses pengasuhan, terutama pada masa-masa awal lahirnya anak. Ayah yang turut aktif mengurus anak, meningkatkan bonding Ayah dan anak serta membantu Ibu beradaptasi dengan peran barunya. Istri yang suaminya mengambil cuti melahirkan akan lebih jarang mengalami stres, sehingga terhindar dari risiko baby blues maupun postpartum depression.
Saya bersyukur pekerjaan Kak D cukup fleksibel dan bisa kerja remote dari rumah, sehingga sepanjang saya hamil hingga melahirkan, Kak D selalu menemani saya. Terutama di 1 bulan pertama kehadiran Zen. Pasca melahirkan pervaginam dengan jahitan perineum, tubuh saya kesakitan. Ditambah kondisi tempat tinggal yang masih sementara direnovasi, untuk sekadar membersihkan alat pumping saja susah apalagi buat masak. Debu di mana-mana. Asli bikin tambah stress sih. Tapi Kak D selalu support meski 2 minggu pertama itu dirinya sendiri juga sedang sakit. Kami memandikan Zen bersama-sama. Secara bergantian ngemong bayi Zen dan tidur.
Dari malam sampai jam sahur saya menjaga Zen. Setelah Kak D makan sahur, dia akan menemaninya sepanjang subuh berbekal ASIP. Lalu saya tidur hingga pagi saat Zen akan dimandikan oleh kami berdua. Begitu terus hingga Zen berusia 1 bulan dan kami orangtuanya sudah beradaptasi dengan jam tidurnya.
Tidak hanya mengurus bayi bersama, suami yang mengambil cuti melahirkan juga secara langsung sedang memberi dukungan mental kepada istri. Dukungan moral akan sangat berarti. Ketika Ibu akan kembali bekerja, mentalnya jadi lebih siap untuk kembali bekerja setelah cuti melahirkannya usai. Kehadiran kedua orang tua bukan hanya baik pada saat anak masih bayi, tapi hingga bertahun-tahun kemudian. Seiring kedua orang tua mendampingi tumbuh kembang anak, kasih sayang dari keduanya bisa membentuk karakter anak yang welas asih.
Ketika paternity leave ini dibuat equal untuk suami dan istri, maka diskriminasi perusahaan saat akan mempekerjakan perempuan akan berkurang. Sehingga akan sama saja saat mau hiring laki-laki ataupun perempuan, mereka akan cuti saat memiliki anak. Mungkin bagus lagi kalau cuti melahirkan bisa diambil kapan saja selama 1 tahun pertama anak lahir. Jadi bisa dibagi dalam setahun itu misal 3 bulan pertama istrinya cuti, 3 bulan berikutnya ayahnya cuti. Kebijakan cuti melahirkan yang menyesuaikan dengan keadaan orangtua? why not? Penerapan cuti melahirkan di beberapa negara seperti Swedia, Islandia dan Korea Selatan bisa dijadikan teladan.
Orangtua di Swedia berhak atas 240 hari cuti untuk anak masing-masing sehingga totalnya 480 hari. Cuti melahirkan di Islandia adalah 12 bulan untuk ayah dan ibu. Ibu mendapat 5 bulan cuti, kemudian ayah juga mendapat 5 bulan cuti dan 2 bulan berikutnya bisa dibagi sesuai kesepakatan masing-masing sehingga anak bisa bonding dengan kedua ortunya sejak lahir. Finlandia memberikan cuti melahirkan sebanyak 161 minggu dengan 25 persen gaji atau setara dengan 40 minggu cuti full gaji. Di Korea Selatan orangtua berhak atas 1 tahun cuti yang bisa diambil kapanpun hingga anak masuk SD. namun peraturan ini akan diubah menjadi cuti 1 tahun atau bisa mengajukan jam kerja lebih sedikit sampai 2 tahun.
Penerapannya memang tidak bakal langsung, akan butuh waktu lama untuk adaptasi, termasuk juga di pihak pengusaha.
Tapi jelas perihal mendukung pengasuhan anak adalah tanggungjawab bersama bukan hanya tanggung jawab ibu.
Ada alternatif untuk support ibu pekerja selain cuti 6 bulan hanya untuk perempuan melahirkan, seperti:
Kehadiran negara membantu orangtua memperhatikan asupan nutrisi anak. Bisa dalam bentuk tunjangan vitamin, konsultasi kesehatan anak dan tunjangan pendidikan anak usia dini. Sebagai upaya melanggengkan kampanye ASI eksklusif, negara menghimbau kantor dan para pengusaha wajib menyediakan ruang pumping dan kulkas ASI untuk karyawan. Daycare yang banyak dan terjangkau kalau bisa (kalau bisa ya) disubsidi pemerintah mengingat mahalnya daycare namun sangat membantu bagi orangtua pekerja. Kemudian meningkatkan kualitas dan kuantitas transportasi umum yang ramah perempuan dan ibu hamil sehingga bisa pulang pergi bekerja dengan nyaman.
***
Nah setelah cuti melahirkan dan waktunya balik kerja, di luar regulasi tadi, pertanyaan yang hadir adalah siapa yang mengurus anaknya?
Tidak semua Ibu bisa dan mau resign. Alasan tidak bisa, karena Ibu membantu Ayah memenuhi nafkah keluarga atau karena dia single parent. Atau bisa juga karena perempuan suka berkarir (why not). Peran negara juga harus sampai di sini, bagaimana melindungi anak sebagai dukungan orangtua bekerja. Karena apa yang bisa dibanggakan dari penduduk banyak tapi gak produktif? Bayangkan ketika ada kebijakan untuk lingkungan kerja ramah perempuan dan keluarga.
Lebih banyak perempuan bisa kerja dengan tenang → menjaga kestabilan finansial keluarga → keluarga sejahtera → ekonomi bertumbuh. Serta dengan negara berperan melindungi anak, tentu sama saja negara merawat generasi penerus.
***
Pada akhirnya, kebijakan apa yang disahkan, sudah saatnya memihak perempuan untuk berdaya. Tapi jangan abaikan usulan regulasi ini keluar dari seorang Puan Maharani, yang belakangan sudah cari perhatian ingin mendongkrak elektabilitasnya di tengah kontroversi kiprah perpolitikannya. Apakah ini semata strategi pendekatan Puan untuk mendulang suara perempuan, karena jika iya, rancangan regulasi ini sejatinya hanya alat, setelah pemilihan nanti bagaimana nasibnya who knows.
Tapi dengan mencuatnya wacana ini di era digital, kini lebih banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya kesejahteraan ibu pra melahirkan dan menyusui.
[1]https://www.kompas.tv/article/299199/dpr-akan-lanjutkan-bahasan-ruu-kesejahteraan-ibu-dan-anak-6-bulan-cuti-melahirkan-hingga-penggajian
[2]https://kumparan.com/kumparanmom/10-negara-yang-punya-kebijakan-cuti-melahirkan-lebih-
dari-3-bulan-1tXvzghTw5D/2