Selasa, 25 Desember 2018

Akhirnya Pulang KKN






Life was like a box of chocolates. You never know what you're gonna get.

 

−Forrest Gump

 

Sepanjang 2018, setidaknya ada dua perihal yang paling membuatku berdebar menunggu. Dua hal itu: menantikan PSM menjuarai Liga 1 dan pengumuman lokasi penempatan KKN. Sepanjang hari itu, saya menonaktifkan data jaringan ponsel. Hal itu biasanya kulakukan saat sedang berfokus menyelesaikan urusan satu per satu. Entah fakta itu rasanya penting atau tidak saya tuliskan di sini. Ketika mengaktifkan kembali jaringan, sudah bisa ditebak ada banyak notifikasi berebutan masuk. Saya tiba-tiba berdebar melihat dari jendela luar ruang percakapan Whatsapp. Pengumuman yang dua bulan belakangan saya nantikan sampai membuat saya bosan mengecek portal kampus, akhirnya diantarkan sendiri oleh teman-teman saya.

 

Kabupaten Toraja Utara adalah pemekaran Kabupaten Tana Toraja pada tahun 2008[1]. Sementara saya belum pernah ke Toraja mana pun, 90% orang asing yang saya temui selama ini akan atau telah mengunjungi Toraja. Pesona alam Toraja selalu menjadi buah bibir teman-teman saya saat membincangkan rencana destinasi wisata lokal (saya belum pernah berhasil ikut). Maka wajar bila saya sangat girang mengetahui saya akan ditempatkan di Toraja Utara.

Lima hari sebelum keberangkatan saya masih sibuk mengurus banyak hal sehingga saya tidak sempat melakukan persiapan khusus seperti riset lokasi, bahkan packing pakaian pun saya lakukan 4 jam sebelum berangkat. Keluarga dan teman-teman saya terus memberikan gambaran, saran dan peringatan yang entah sumbernya akurat dari pengalaman pribadi atau hanya prasangka saja. Tapi mendengar terlalu banyak sesuatu yang belum kita hadapi juga tidak bagus, kan?

Rombongan KKN Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara adalah rombongan angkatan 59 pertama yang diberangkatkan pada tanggal 9 November 2018. Masing-masing terdiri atas 2 posko. Di Toraja Utara tepatnya di Lembang Rantebua, posko 1 berbasis di Dusun Buntu Orongan dan posko 2 di Dusun Garuang. Terus terang awalnya saya berharap bus yang akan mengantar kami, bukannya berdesakan (literally berdesakan) dengan barang dalam mobil avanza. Rombongan kami tiba pukul 11 malam dan disambut dengan hangat oleh Bunda dan dua anaknya, Chairul dan Dilla. Sekadar kalian tahu bagaimana kuatnya pengaruh keluarga ini, meski baru satu jam tiba serta tanpa berekspektasi apa-apa, sejak malam itu saya bersyukur ditempatkan di rumah Bunda.

Rabu, 05 Desember 2018

5 Desember (6)









Tahun ini saya sedang berada di satu tempat yang baru. Tempat yang kutinggali lebih dari sebulan lamanya. Satu bulan yang hebat menurutku.

 

Kita bisa saja bertemu lusinan orang baru, tapi rasanya berbeda jika ditempatkan serumah, seluruh jam dalam satu hari. Bangun tidur, sarapan, bekerja, masak, makan siang, kerja, makan malam, bersenda gurau, menunggu waktu tidur, lalu mengulangi lagi hal yang sama dengan orang baru.

Sebutlah kamu seorang introvert, bagaimana kamu akan melewati hari? –Pertanyaan itu berputar-putar selama 14 jam perjalanan menuju lokasi KKN.

Saya dibuat sangat lelah.

Hal yang dihadapi bukan hanya menggerakkan diri secara fisik, tapi juga menguatkan batin menghadapi segala sesuatunya. Ehehe kok kelihatannya saya kayak tersiksa batin ya di sini?

Jujur saja, tidak sama sekali. Saya percaya tanpa ragu saya bisa menahan diri. So just relax. Ini perihal bagaimana setiap malam sebelum tidur saya takjub bagaimana saya setenang ini.

Jadi orang baik tidak ada ruginya. Yang ada adalah orang yang iri. Kadang saya bertanya-tanya apakah saya sebegitu keren dan tidak tercapai untuk gadis-gadis sirik dan kepo itu? Hahaha. Tapi cerita itu tidak usah mendapat banyak porsi. Berada di Toraja Utara membuatku penuh kekaguman. Keindahan yang kuliat dari pagi sampai malam ingin kuhapal lekat-lekat. Benar ini bukan mimpi. Sisa 18 hari, kusemogakan di lain waktu saya bisa mengunjungi tempat ini lagi. Sama siapapun asal gak sirikan orangnya :p

Udah sih. Bagi orang sirik kita ada-ada aja jeleknya.





Jumat, 26 Oktober 2018

Itu yang Bentrok, Tidak Pernah Ikut CBT Emang?



Pagi-pagi betul ponselku sudah ribut dengan pemberitahuan pesan masuk. Segera kucek, grup obrolan daring angkatan sudah berseliweran kekhawatiran mahasiswa-mahasiswa semester akhir mengenai informasi diliburkannya kegiatan perkuliahan pasca bentrokan dua hari berturut-turut. Kabar diliburkannya perkuliahan sepanjang pekan ini sepertinya menjadi headline pagi yang hangat dengan tiga macam reaksi, paling tidak yang bisa kita lihat dari lini whatsapp story.

Bagi maba, statusnya tidak jauh dari perasaan senang akhirnya mendapat hari libur dadakan yang lamanya cukup untuk pergi jalan-jalan bahkan pulang kampung kilat. Reaksi yang kedua adalah kesal, kecewa, dan tidak terima. Dikasih libur padahal tidak minta. Mahasiswa semester akhir gitu lho, lagi sibuk-sibuknya bimbingan skripsi dan mengurus berkas. Ke kampus saja belum tentu ketemu dosen pembimbingnya, apalagi kalau tidak ke kampus. Lagipula, yang bentrok kan fakultas lain, ya, nggak, sis?

Reaksi ketiga adalah reaksi selain dari yang di atas. Keputusan pimpinan kampus yang meliburkan perkuliahan atas permintaan Kapolresta (seperti yang disebutkan dalam pesan siaran) bukankah terlihat seperti kebuntuan pihak kampus untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik destruktif yang dipicu oleh persoalan remah-remah chitato. Main futsal antar jurusanji bede nabilang orang, bagaimanami itu kalau pertandingan mewakili negara. Kalau sekadar untuk menunjukkan superior maskulinitas, kok, gitu amat.

Rabu, 10 Oktober 2018

Buku & Film: Aruna dan Lidahnya



Baru kali ini saya ke bioskop tapi penontonnya se-sepi ini. Hanya ada 5 orang di dalam studio, termasuk saya dan (sebut saja dia) Boy. Mungkin karena overshadowed dari film The Nun atau Something in Between? Ya memandangi Jefri Nichol menggoda, tapi Nicholas Saputra kan sayang banget dilewatkan~

Kebetulan sutradaranya Edwin, yang saat ini jadi favoritnya (sebut saja dia) Boy setelah dia nonton film Posesif. Dan film ini dikemas menarik oleh Edwin, menariknya film ini memakai teknik breaking-the-fourth-wall, di mana protagonis seolah berbicara langsung ke kamera/penonton. Seperti yang bisa dijumpai di film-film Warkop DKI. Teknik ini agak tricky karena bisa jadi melempem kalau tidak dieksekusi dengan baik. Tapi dalam Aruna dan Lidahnya, didukung Dian Sastro dan para cast yang lihai storytelling, teknik ini menjadi trik sulap yang membuat kita semua bisa merasakan kelezatan yang dirasakan karakternya. 



Saya sendiri menonton filmnya sebelum menyelesaikan novelnya Laksmi Pamuntjak. Karena novelnya terbilang kaya rasa (aslinya memang terasa padat), banyak terminologi buatan Laksmi dalam buku ini, sehingga saya mesti membaca dengan khidmat. Sayangnya saya lagi zibuk hehe (sibuk mulu).

Secara garis besar, film dan novel Aruna & Lidahnya bisa dibilang multi-tema, tapi fokus utamanya adalah kuliner (sepertinya). Ya sepertinya tema utamanya kuliner deh soalnya pekerjaan Aruna selaku ahli wabah di sini kesannya hanya tempelan, kita lebih digiring untuk menemani Aruna menikmati makanan.

Justru yang ‘kuliner banget’ dari film ini adalah pekerjaan Bono, sahabat Aruna yang merupakan chef dan ambisi Aruna mencari Nasi Goreng si mbok. Padahal penulis sudah membawa tema yang unik di belantika novel kiwari, seperti ahli wabah, flu unggas, plus segala institusi fiksi seperti Kementerian Mabura (Kemakmuran dan Kebugaran Rakyat). Meskipun begitu, kuliner dan romansa yang dihadirkan sebagai bahan baku dari cerita Aruna & Lidahnya, tetap tersaji menarik.

 

Menurut hemat saya, tidak terjadi konflik yang begitu berarti, bahkan saya pengen nanya konfliknya di bagian mana, tau-tau udah ‘resolusi’. Jujur ada sedikit kebimbangan menentukan konflik ceritanya, yang menjadi sorotan utama yang mana? Apakah kejanggalan kasus flu unggas dan birokrasi yang korup, ataukah keresahan hati Aruna akan perilaku Farish yang mendadak caper, atau nasi goreng si mbok. Mungkin akan lebih baik jika salah satu di antaranya difokuskan dan dikembangkan lagi. Meskipun konfliknya tidak terlalu terasa, overall film garapan Edwin dari cerita karya Laksmi Pamuntjak sukses memanjakan mata dan kelaparan saya, sekian.


Jumat, 06 April 2018

Eceng Gondok di Sungai Sinre’jala




Foto: Ekha



Eceng gondok adalah pemandangan biasa di sungai-sungai kota. Kota dengan segala polusinya, termasuk di sungai yang dihuni banyak sampah, mendukung pertumbuhan tanaman ini. Sungai berlumpur dengan aliran yang tenang karena terhambat sampah-sampah menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan eceng gondok.

 

 

Eceng gondok secara umum dianggap sebagai gulma. Meski anak-anak kecil bisa saja melihat tumbuhan ini sebagai penghias sungai, serupa teratai. Eceng gondok dengan nama Latin Eichhornia Crassipes juga memiliki penyebutan yang berbeda di berbagai daerah, seperti dalam bahasa Makassar disebut capo-capo.

 

Eceng gondok adalah tanaman hidrogami, atau penyerbukannya dibantu oleh air. Selain itu, proses pertumbuhannya sangat cepat dan mudah menyebar menutupi permukaan air, oleh karena itu tanaman ini termasuk gulma yang dapat menghambat oksigen dalam air sehingga mengganggu kehidupan ikan.

 

Tanaman air ini juga menjadi penyebab pendangkalan sungai. Eceng gondok yang mati akan layu dan tenggelam, menumpuk di dasar sungai. Selain itu, permukaan daun eceng gondok yang lebar akan mempercepat penguapan dan mengurangi volume air.

 

Pertumbuhannya yang cepat juga mengganggu lalu lintas air. Seperti yang diutarakan Ibu Milani yang saya temui di depan rumahnya yang langsung menghadap ke sungai. Kadang ada perahu kecil yang menjala ikan di sungai dan langsung dijual di rumah-rumah pinggir sungai, tapi itu kondisional, karena jika sungai tertutupi eceng gondok, nelayan sungai tidak bisa lewat. “Biasanya ada orang menjala di sini baru na jual mi dekat-dekat sini. Kalau tertutup ki eceng gondok kayak begini, lewat saja tidak bisa,” terang Ibu Milani. Jenis ikan yang biasanya terjala adalah ikan nila, ikan gabus, dan ikan air tawar lainnya.

 

Kamis, 01 Maret 2018

Sebuah Pertemanan yang Sehat

sourch



Tulisan ini akan dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan.

Seperti, apa itu teman? Bagaimana kira-kira pengertian sebuah pertemanan yang kalian yakini? Apakah ia sesuatu yang selama ini tak terkonsep, dijalani begitu saja, kemudian bagaimana sesuatu dan atau seseorang diyakini bisa disebut sebagai teman?

 

Orang-orang pasti jawabnya, teman adalah ia yang berada di sisi kita, menemani kita melalui berbagai peristiwa historis di kehidupan kita. Ada, saat kita senang atau sedih, bahkan bisa jadi teman itu menjadi alasan kita merasakan berbagai emosi.

 

Rabu, 28 Februari 2018

Kenapa BRT Berhenti Beroperasi dan Sebagainya






Sepanjang Januari hingga awal bulan Februari, saya kebetulan lumayan sering bepergian keliling Makassar. Kota yang juga mendefinisikan diriku namun semakin sulit kupahami, saya khawatir ia terasa asing seiring waktu.

Beberapa minggu keliling kota ke sana-sini untuk berbagai urusan, saya menyadari ada yang berbeda di jalanan kota yang semakin tua semakin liar. Tidak satupun BRT menampakkan knalpotnya, termasuk di pusat-pusat perbelanjaan kota. Apakah hanya saya atau memang BRT istirahat mengaspal?

Kira-kira kenapa BRT harus berhenti beroperasi sementara atau selamanya?


Sabtu, 13 Januari 2018

Belajar Merajut




Memasuki bulan Februari tahun 2017 lalu (yas, 11 bulan yang lalu) finally I’ve got a new berfaedah hobby─merajut. Tapi lebih tepat disebut mengait sih, alias crocheting. I didn’t know, why all in this earth I suddenly up to learn crochetting.

Saat  itu, karena tidak tahu belajar dari mana dan mulai dari mana, jadi kupikir lebih baik untuk masuk komunitas atau perkumpulan tertentu untuk belajar merajut dasar. Sebutlah pengetahuanku nol, yang kutahu hanya saya sangat ingin belajar merajut. Setelah bertanya kiri kanan, temanku menyarankan satu komunitas rajut di Makassar, tapi sayang persyaratannya adalah sudah bisa merajut, paling tidak merajut dasar, I’ve told you, saya belum tahu merajut sama sekali.

Karena sudah niat sekali, saya memutuskan untuk belajar otodidak. Nonton beberapa video crochet tutorial ‘for dummies’ di Youtube (ternyata ada banyak sekali!) dan googling apa saja yang perlu disiapkan untuk pemula seperti saya ini.
Ada berbagai peralatan rajut, tapi yang paling penting untuk saya miliki adalah: benang rajut dan hakpen! Selebihnya nanti saja mengikuti kebutuhan. Intinya saya harus mulai belajar mengait dulu.

Karena memang masih awam, beli alat dan bahan saja saya tidak tahu harus ke mana. Tempat yang pertama kutuju adalah.. Toko Harapan yang ada di pasar sentral. Kupikir beginian pasti adanya di toko jahit. Ternyata tidak semua sih haha. Soalnya setelah dari toko Harapan saya masih mau beli benang tapi malas antri (tahulah bagaimana antrian kasirnya di Harapan) jadi saya singgah ke beberapa toko jahit di sentral dan hasilnya nihil.


Saat masih di dalam toko Harapan, saya tidak sulit menemukan benang rajut. Tapi benang rajut yang tersedia hanya dua jenis, katun dan polister 100 gr. Setelah mengambil benang warna merah dan kuning, saya masih bingung gimana beli hakpennya. Kebetulan, pas saya masih berdiri-berdiri gaje, ada dua mbak-mbak yang ngobrol dan sebut-sebut hakpen, like the answer fall from the sky, saya pun mengekor di belakang mereka.

Tapi bingung juga sih pas ditanya mba tokonya saya mau ukuran berapa. Huuk, ternyata pakai ukuran segala. Hehe waktu itu saya belum tahu kalau di kemasan benang sudah ada keterangan ukuran hakpen/breien untuk benang tersebut.