Selasa, 26 Desember 2017

5 Desember (5)






Saya lagi-lagi tidak menjelaskan di balik tanggal 5 Desember ini, tapi saya ingin bercerita. Begini kira-kira. Tahun ini saya jatuh banyak kali. Jatuh memantul, hingga saya mendarat jauh di luar garis. Terjatuh di tempat yang asing membuat saya harus beradaptasi dulu, sebelum mulai kembali mendaki.

Salah satunya kehidupan di kampus. Ada-ada saja yang jadi masalah. Terus-terusan bertemu si masalah, saya berubah dari gadis sendu menawan (hue') menjadi gadis curigaan. Hal ini yang kemudian malah membuat saya membatasi diri.

Sebutlah di depanku ada sebuah genangan air. Daripada melangkah di atas genangan yang akan meninggalkan bekas basah di sepatu, saya memilih melompat dan tidak sadar jika tanah saat itu sangat licin. Akhirnya saya jatuh, dan baju saya basah dan kotor.
Rupanya saya sebegitu curiganya pada setiap genangan air.

Tapi jauh di dalam diriku, uwuwu
saya tahu 2017-ku tidak sejelek itu.

Saya melakukan banyak hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya, membayangkan saja tidak. Kejutan-kejutan ternyata masih bekerja tahun ini.
Saya melakukan berbagai rencana perjalanan kota tahun ini, bersama beberapa orang yang kusukai.

Untuk pertama kalinya saya merajut, dan berkenalan dengan orang-orang baru karenanya.
Untuk pertama kalinya saya bisa berenang, hanya dalam satu hari.
Sisanya, saya sampai tidak bisa sebut satu persatu.

Jika tahun 2016 kemarin kujuluki 'tahun penuh lika-liku drama', maka 2017 ini kusebut saja an upa’-upa’ year”.

Itu aja sih. 

Selamat menghabiskan sisa Desember!

26 Desember 2017, ditemani susu vanilla favorit.


Senin, 13 November 2017

Sudut yang Asik Untuk Nongkrong Sendiri di Kampus 2 UIN Alauddin Makassar




Sesupel-supelnya atau segaul-gaulnya seseorang , terkadang kita butuh yang namanya kesendirian. Menjauh dari hingar bingar massa. Dan ini manusiawi. Karena manusia selain makhluk sosial, juga merupakan makhluk individu.

Meskipun tidak lama, menyendiri memberikan apa yang tidak bisa didapatkan dari kerumunan: ketenangan. Sebagian orang menyendiri karena sedang jenuh atau banyak pikiran. Sebagian lain karena sedang mengerjakan sesuatu yang menyita fokus seperti membaca atau melukis. Sebagian lagi menyendiri karena orang itu dari sononya memang suka sendiri *eaaa

Kalau saya? Kalau saya sih selalu menyendiri setiap hari, terutama saat mandi, buang air, atau tidur. YAIYALAHHH.
Memangnya harus menyendiri supaya tenang? Bukankah berkumpul bersama keluarga dan orang-orang yang disayang kita bisa tenang, damai, dan bahagia?
Jadi ya sendiri belum tentu berarti menutup diri. Sendiri bisa saja karena waktunya untuk sendiri. Azek.

Ini, saya kasih daftar beberapa tempat untuk nongkrong tenang di kampus 2 UIN Alauddin Makassar, siapa tau kalian butuh. Kalau tidak butuh, close tab mi ki’ sekarang dende astaga gampangji toh.




1.     Perpustakaan

Perpustakaan memang tempat paling top saat harus menghabiskan waktu seorang diri. Karena tempatnya yang meski ramai pengunjung, tetap senyap. Kadang ada sih suara-suara kedengaran, terutama suara mahasiswa sedang diskusi sambil bisik-bisikan. Tapi masih bisa dimaafkan kok, kalau kalian tidak suka, move ke sudut lain lah, gak usah komplain kalau cuma begitu, perpus kan luas men. Jangan mi serius dudu.
Kelebihan utamanya, di perpus kita bisa baca buku atau sekadar numpang hotspot bagi para fakir kuota.



2.     Halte
Ada juga kok orang di halte cuma numpang duduk meski tidak sedang menunggu. Mau menunggu siapa? Menunggu abang datang meminang? Nanti ajalah, tunggu adek wisuda dulu hahaha
Kalau mau menyendiri di halte lebih syahdu, bisa sambil membaca buku, menggambar, atau sambil main game online (Hayday! Hayday!)


Sabtu, 23 September 2017

Semester 7





Tepat setahun lalu, ketika akan memasuki semester 5 setelah cuti akademik di semester  4, aku tidak henti-hentinya berharap setahun itu segera kulalui. Ingin cepat-cepat semester 7. Dan ketika kakiku sudah berdiri di titik ini, rasanya seperti berlari telanjang kaki. Aku merasakan setiap pijakan berbatu, berpasir, kemudian berlumpur, tapi mataku tidak banyak melihat.

Kurasa lebih baik jangan berlari terlalu kencang, atau berjalan terlalu lamban. Nikmati setiap langkah. Lewati yang tidak perlu, amati yang baru.

Terakhir, ada satu hal yang benarbenar kuinginkan. Ditemani ceritamu hingga semester penghabisan.


Samata, 23 September 2017, setelah satu hujan panjang reda.

Selasa, 29 Agustus 2017

Perempuan, Jaga Diri Kalian

Saya sangat sedih membaca salah satu artikel di Line Today kemarin. Sangat sedih sekaligus sangat marah. Ada kasus tewasnya seorang gadis yang baru menginjak usia 21 tahun, di tangan pacarnya sendiri. Tragisnya, ia dibunuh dalam keadaan hamil 6 bulan setelah menagih tanggung jawab sang pacar⎻pelaku pembunuhan. Di mana kemanusiaan si pelaku?

Saya sampai bingung menjelaskan perasaanku. Kenapa? Bagaimana bisa ia sampai hati melakukannya? Membunuh seorang perempuan. Dan janin dalam rahimnya⎻yang juga merupakan anaknya.

Kita semua pasti menyimpan komentar seperti, ”bodoh sekali perempuan itu”, atau “si lelaki mau enaknya saja”. Ya memang seperti itulah mereka-mereka di mata kita. Korban dan pelaku sama saja bodohnya.

Kenyataannya sampai saat ini, perempuan masih terjebak dalam marjinal yang luhur. Bagaimana mereka membiarkan diperlakukan oleh dominasi, dan bagaimana mereka juga memperlakukan sesama perempuan dan diri mereka sendiri. Emansipasi biasanya  lebih diteriakkan kencang dalam urusan mencari kerja dan uang.

Beberapa bulan lalu, saya sedang di perjalanan pulang dari bekerja. Saat itu jalanan pukul 9 malam sangat ramai karena ada festival Ramadhan dan juga orang-orang yang pulang dari shalat tarwih. Beberapa meter di depanku, ada seorang perempuan yang kukenali sebagai adik kelasku di SMK. Ia, sudah beberapa minggu mengenakan jilbab syar’i, dibonceng vespa oleh pacarnya. Karena ingin menyapa, maka kulajukan motorku sejajar dengan mereka. Tapi niatku untuk menyapa mereka kutahan. Saya bingung. Meskipun berjilbab syar’i tidak bisa dihubungkan dengan akhlak seseorang, tapi bukankan itu berarti saat ia memutuskan untuk mengenakan jilbab panjang menutupi dirinya, ia ingin melindungi dirinya?  Tapi apa yang coba ia lindungi, jika dibonceng dengan pacar dengan posisi memeluk erat seperti anak kecil yang takut jatuh dari motor?

Perempuan, adalah makhluk penakut sekaligus pemberani.
Ia berani melakukan fantasinya tapi tetap tidak berdaya jika diperhadapkan dengan ancaman resikonya.

Masih bimbang, sepertinya tulisan ini cukup sekian.


Makassar, 29 Agustus 2017, setelah uap terakhir di cangkir teh pupus.

Senin, 03 Juli 2017

Takut



Malam tadi aku berfikir tentang ketakutan. Kupikir,  setiap orang punya ketakutannya masing-masing. 

Malam, berlaku untuk sebagian orang, adalah waktu mereka akan merasakan ketakutan-ketakutannya. 
Adik sepupuku takut kala malam akan melihat yang "lucu-lucu".
Ibunya,  takut anaknya ketakutan.
Mendengar cerita tante dan sepupuku, adikku ikut-ikutan takut keluar malam sejak itu. 

Tapi takut tidak mengenal waktu dan tempat.
Teman SMP-ku dulu, sebut saja W pernah histeris sambil berjingkat di atas kursi karena.. seekor laba-laba kecil. Iya,  laba-laba kecil yang dulu kalian ambil trus sengaja disodok-sodok di pergelangan tangan, biar digigit dan berubah jadi mutan keren seperti Spiderman. Takut itu seperti perasaan suka, ya, kan? relatif.

Ada juga temanku yang takut makan ikan lagi setelah tersedak tulang ikan. Bukan cuma ikan, pokoknya makanan seafood ia tak mau sentuh.

Beda dengan ketakutan akan materi, ketakutan yang sesungguhnya adalah takut yang muncul dijemput oleh prasangka. Misal rasa takut karena kecintaannya pada dirinya. Jenis ketakutan itu akan mendorongnya melindungi diri. Perlindungan diri semisal pencitraan.
Ah, aku jadi teringat postinganku yang sebelumnya perihal pencitraan si fulana :(
Aku tidak suka dengan muka duanya. Lantas sadar aku juga tidak suka ideku untuk menulisnya dalam postingan sebelumnya.

Tadi kubilang setiap orang punya ketakutannya masing-masing, ya, kan? 
Akhirnya aku tahu takutku. 

Aku takut tumbuh dewasa menjadi wanita tua menyebalkan. 

Senin, 26 Juni 2017

Pencitraan



Percayalah aku menulis ini tidak disertai perasaan apapun. Dan lagi, yang kubahas di sini bukannya orang yang penting di keseharianku. Dari sini kalian sudah bisa menyimpulkan apakah tulisan ini cukup penting atau tidak. Tapi karena sudah terlanjur di sini, jadi kulanjut saja.

Aku sangat tidak suka dengan orang yang terlalu banyak pencitraan. Seperti kuah sayur bening yang diberi banyak-banyak micin. Aku kira hanya di kehidupan sekolah saja akan banyak ditemui sosok bureng (pemburu ranking, istilahnya begitu). Tapi menjelang semester tua sosok bureng itu terefleksi begitu halus, begitu licin, dan mengecoh. Aku punya cerita, di kelasku, cewek berinisial K ini contohnya. Aku tidak bilang aku membencinya, hanya saja, setiap dia bertingkah, ada rasa-rasa menggelikannya.

Iya, sebenarnya dari jaman maba aku tahu si K ini tipe orang ambisius, tapi  ia cukup pemalu. Pemalu tapi attention seeker at the same time. Kalau ambisius sih tentu bisa jadi motivasi diri dan jadi nilai positif ya, tapi tidak jika tindak tanduk ambisiusme ini sudah berlebihan dan membuatnya cenderung manipulatif. Entah ia beruntung, karena hanya aku dan beberapa orang yang tahu amisnya si K.

Beberapa minggu yang lalu, ada beberapa postingan si K di instagram. Ya, bukan satu tapi beberapa foto dirinya dengan caption yang intinya menyampaikan seperti ini; si K capek kerja tugas terus, apalagi kalau itu tugas kelompok. Dia mengeluh, kenapa yang namanya kerja kelompok harus selalu ia kerjakan seorang diri.  Tapi di saat yang sama ia memberitahu bahwa untunglah ada pacarnya yang membantunya mengerjakan tugas itu (show off). Di postingan lain ia juga beberapa kali menyinggung teman kelompoknya (bukan aku) yang katanya tidak punya perhatian pada tugas kelompoknya. Wah, sungguh usaha pencitraan dengan dragging others down.

Selasa, 16 Mei 2017

Pesta Pendidikan 2017



Two days ago, I went to the public festival, Pesta Pendidikan that held on 13th to 14th of May in Fortress Rotterdam. Had been there after intricately persuaded any friends of mine until one that fine enough to realize how they would be thankful for coming there :p

As I seen on the news about this event, Makassar is the forth city after Bandung, Ambon, and Jogjakarta. And the highlight of the event took place in Jakarta next month.

The event held in two days, but unfortunately I did not attend the first day, because.. should I find another reason except there is no one can accompanied me there? Yahaha. I really could go there by myself, by motorcycle, but I still have not my licence yet to go that far. And to go by bus would take too many time. Ugh.



It was 1 pm when I arrived at Benteng Fort Rotterdam.

Selasa, 28 Februari 2017

Picnic At The Bus Transmamminasata




Kelas 3 SD adalah terakhir kali aku merasakan naik bus Damri. Waktu itu aku menemani almarhumah nenek mengunjungi rumah salah seorang saudarinya di Kabupaten Gowa, tepatnya daerah Pallangga dekat stadion Kalegowa.

Posisi duduk andalan tentu saja di bagian belakang, dan aku senang sekali kalau kebagian tempat duduk paling belakang dan samping jendela. Karena posisi bangku belakang lebih tinggi dari bangku lainnya.

Selain itu, aku sebisa mungkin menghindari angin dari jendela yang terbuka dan ac kendaraan, soalnya aku ini tipis, mudah sekali masuk angin hahaha.

Serius. 

Penyakit sedikit-sedikit-masuk-angin ini begitu menyusahkan dan menganggu integritasku sebagai penikmat perjalanan jarak jauh
*cyah

Setelah bus tidak beroperasi lagi, angkot atau bekennya di sini disebut pete'-pete' ini kemudian menjadi andalan masyarakat untuk bepergian ke daerah sekitaran kota. 

Tapi nampaknya jumlah pete-pete' yang mengaspal di jalan raya begitu banyak dan kerap menjadi biang kemacetan saat mengambil, menurunkan, dan menunggu penumpang di bahu jalan, terutama di tempat publik yang sebenarnya di pinggir jalan tersebut sudah disesaki kendaraan yang parkir. 

Dan kemudian Makassar butuh diupgrade perihal transportasi publiknya. Faktanya, banyaknya angkot yang kerap menimbulkan macet dan ngetem di bahu jalan, sopir ugal-ugalan, dan kejahatan di jalan yang terjadi membuat warga (termasuk daku) mendambakan transportasi publik yang nyaman dan aman.

Ah sebelumnya maaf tulisan ini bukan bermaksud untuk sok tahu, menyinggung atau merendahkan pihak tertentu, bukan kok. Stay positive ya.

Oke kembali membicarakan bus, saat pertama mendengar berita comebacknya *tjieh bahasanya dengan wujud yang lebih oke, aku dengan semangat dan antusias yang sebenarnya tidak begitu perlu, sangat sangat ingin untuk naik bus ini. Tinggal cari waktu, juga travelmate dong. Emang mau kemana? Ya tidak ada tujuan mau kemana sih tapi di sini tujuanku kan naik bus keliling kota, terserah aku kan hahaha 


Kamis, 16 Februari 2017

Redwin Sorbolene, Bukan Sekadar Moisturizer

review redwin sorbolene februari 2017



Halo sahabat. 

Blog ini memang bukan blog berniche beauty tapi aku tidak bisa menolak saat melihat pengumuman lomba review produk Redwin Sorbolene. 

Jadi harusnya artikel review ini diikutkan dalam kompetisi blog, tapi sayang seribu sayang, aku tidak sempat untuk submit tulisanku sampai pada deadline yang ditentukan kemarin. Uwuwu

Aku sangat sibuk, bahkan setelah postingan terakhirku di tahun 2016, harusnya aku tidak menunda untuk submit tapi akh sudah kubilang betul-betul tidak sempat. Arg. 

Sehingga meski aku gagal mengikuti kompetisi blog sebagaimana mestinya, aku yang sudah dikirimi produk Redwin Sorbolene, akan tetap menuliskan review di brosurnya.

Rabu, 01 Februari 2017

Dunia Tanpa Sop Ubi





Pertama-tama aku ingin berterimakasih pada leluhur kita yang meracik kuah segar, bihun, toge dan sayuran lain kemudian dikawinkan dengan ubi goreng, dibubuhi goreng kacang, dan kadang disertai irisan daging. Hei jangan lupa, telur rebus! Terima kasih juga kepada seseorang -ibuku, yang akhirnya menjejalkan rasa sedap itu kepada aku, yang dalam urusan makan sebenarnya sangat selektif, tapi sebab perihal makan yang kusejajarkan dengan proses respirasi (keduanya kita lakukan untuk terus hidup, kan?) aku harus mengenyampingkan egoku itu dan selama itu baik, bismillah dan makan saja. 

Jika saja aku makan sop ubi, sedang di meja yang sama teronggok cantik seporsi gado-gado, gado-gado itu mestilah merasa terdiskriminasi. Aku menikmati sop ubi bertoge itu, sedang gado-gado pun bertoge tapi tidak pernah mau kusentuh. Sedikit merasa bersalah sih.

Apa jadinya dunia yang kukenal jika sop ubi tidak pernah ada?

Mungkin tidak banyak pengaruhnya. Kalian tahulah ada begitu banyak resep masakan berbahan dasar singkong di dunia ini, meski jika dipersempit di kota Makassar saja. Ada banyak sekali bung. Singkong tidak akan menganggur meski resep sop ubi bahkan tidak pernah ada. 

Tapi bagaimana jadinya dengan (kita anggap saja ada) 1000 warung sop ubi di kota ini? Apa mereka kemudian akan tetap membuka warung, menjajakan masakan berbahan dasar singkong lainnya? Bisa jadi perkedel singkong, putu mayang, poteng, bolu singkong, atau sekadar singkong goreng. Ah. Sepertinya jangan.

Lagipula aneh sekali mempertanyakan hal tersebut.
Mempertanyakan perihal eksistensi sop ubi.
Di telingaku sama saja kau pertanyakan apa jadinya jika aku tidak mengenalmu. Pertanyaan gila. Sebenarnya tidak gila juga. Hanya aku malas berpikir. Ini pasti karena aku lapar. Berhenti bertanya, sekarang temani aku ke pasar, aku ingin membeli singkong dan sebungkus bihun.