Selasa, 19 Juli 2016

Rule #32: Enjoy Little Things


Menonton film bisa kita sebut rutinitas sabtu malamnya Ekha di liburan semester kali ini, karena sepanjang yang saya ingat hal itulah yang saya lakukan wqwqwq

 

Well, sabtu malam kemarin, saya menonton marathon tiga film sekaligus. Dibuka dengan film yang dibintangi Katie Holmes, Touched With Fire (2016) dilanjutkan Infinitely Polar Bear (2015), kemudian ditutup dengan film yang berbeda dari dua film sebelumnya, Zombieland (2009).

 

Setelah lebih dari enam jam nonton marathon, ngos-ngosan liat Emma Stone dikejar zombie, perut sudah keroncongan, mata sepet-sepet makan sahur nonton tivi eh itu sih lirik lagunya OVJ ya hoho yang paling utama, saya merasa ada korelasi di ketiga film tersebut.

 

Entah benar ada korelasinya atau tidak, atau sayanya aja yang maksain ada, ayo kita cari tahu.

 

 

Film pertama, Touched With Fire.

Garis besar dari film ini adalah kehidupan orang-orang yang mengidap Bipolar. For the first time in my life, melalui film ini, saya mendengar istilah Manic Depressive, Lithium, dan bagaimana negara lain di luar sana menangani orang Bipolar (kalau di Indonesia sendiri saya tidak tahu menahu ya).

 

Lucia Carla (Katie Holmes) adalah seorang penyair yang sedang dalam pengobatan karena Manic Depressive yang dialaminya semakin memburuk. Pada musim gugur, Carla harus mengikuti sebuah terapi kelompok di rumah sakit jiwa. Di sanalah ia bertemu Marco (Luke Kirby) yang juga menyebut dirinya penyair.

 

Marco sangat terobsesi dengan bulan karena nama penanya adalah Luna. Lebihnya ia menganggap jika dirinya bukan berasal dari planet bumi tapi tempat lain di ruang antariksa dan yakin suatu saat bisa pulang ke sana (Mungkin Marco juga terobsesi dengan The Little Prince?).

 

Hubungan mereka kian erat manakala setiap malam, mereka mengadakan pertemuan rahasia di ruang relaksasi dan melakukan ini dan itu (bingung bagaimana mendeskripsikannya haha), intinya, setelah pihak RSJ mengetahui keadaan mereka semakin gila jika mereka bersama, maka Carla dan Marco pun dipisahkan. 

Misteri Soliter: Filsafat dalam Setumpuk Kartu Remi




 
MISTERI SOLITER
Filsafat dalam Setumpuk Kartu Remi
Terjemahan dari The Solitaire Mystery
(judul asli Kabalmysteriet dalam bahasa Norwegia)
Karya Jostein Gaarder
Mizan Publishing House
Cetakan 1, Januari 2016
Ilustrator Isi: Hilde Kramer
Desainer Sampul: Andreas Kusumahadi

Hans Thomas , 12 tahun, bersama sang ayah melakukan perjalanan ke Yunani untuk mencari sang ibu. Perjalanan panjang itu diwarnai kejadian-kejadian aneh. Seorang kurcaci memberi Hans Thomas sebuah kaca pembesar, seorang tukang roti memberikan sekerat roti berisi buku mini yang berkisah tentang pelaut yang terdampar di sebuah pulau; setumpuk kartu remi yang tiba-tiba hidup, dan seorang Joker yang nyaris tahu segala.

Siapakah mereka? Dan ke manakah mereka akan membawa Hans Thomas? Misteri Soliter adalah bacaan yang ditulis khusus bagi mereka yang ingin belajar filsafat  tanpa harus berkerut kening. Kisah di dalam kisah, karakter yang mungkin nyata, mungkin pula tidak, masa lalu dan masa depan. Sebuah kisah yang menyajikan teka teki dan eksplorasi kehidupan yang memukau.


Seperti kata Socrates, satu-satunya hal yang kuketahui adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa. –Hans Thomas

Sangat jelas terpampang nyata dari judulnya: Misteri Soliter: Filsafat dalam setumpuk kartu remi, bahwa buku ini membahas misteri di balik permainan soliter dengan sedikit banyak berfilosofis dari sudut pandang Hans Thomas, anak laki-laki berusia 12 tahun.

Hans Thomas melakukan perjalanan dari Norwegia menuju Yunani untuk mencari ibunya yang katanya sedang mencari jati diri, namun tersesat dalam dunia mode. Kenapa ibunya harus ke Yunani dan bukannya ke Paris, London, atau Amerika jika hanya ingin menjadi model? Entah. Sampai akhir cerita hal ini masih ngeblur (bahasanya -_-)

"Saranku untuk semua orang yang berusaha menemukan jati diri adalah tetaplah tinggal di tempatmu sekarang. Kalau tidak, kau dalam bahaya besar kehilangan dirimu selamanya." –hal.26

Well, demi mencari sang ibu, Hans Thomas dan Pa melakukan perjalanan mobil melintasi berbagai negara sebelum tiba di Athena. Sepanjang membaca novel ini, saya sangat suka dengan kedekatan antara Hans Thomas dan ayahnya. Selama perjalanan mereka sesekali “berhenti untuk merokok”, bayangin bawa mobil ribuan kilometer cuy.

Kegiatan berhenti untuk merokok bukan perhentian yang biasa bagi mereka. Karena saat sudah menyalakan sebatang rokok dan melihat pemandangan menakjubkan dari negara yang dilewatinya, Pa akan mulai berfilsafat. Dan sepertinya, Hans Thomas yang masih berusia 12, mulai berpikir seperti ayahnya.

*OOT: oke saat mengetik sampai disini, saya tiba-tiba teringat dengan filmnya Jason Reitman yang judulnya Thank You For Smoking. Lain kali saja saya tulis, now focus on Hans Thomas and his father. Also his journey. Also his amazing book.

Kamis, 14 Juli 2016

Buku Ini Saya Pinjam


Saya menemukan buku Dewey: Kucing perpustakaan kota kecil (Vicki Myron) ini di salah satu rak –yang sepertinya cukup terpencil untuk ukuran bacaan ringan) sedang buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Pramoedya Ananta Toer) entah saya temukan di rak mana, begitu keluar dari perpustakaan tau-tau sudah bawa pulang 2 buku.

Saat itu, seperti biasa saya nongkrong di parkiran perpustakaan, menunggu pergantian jam kuliah, kalau tidak salah (berarti benar dong ya) awal semester 3. Wait.. itu kan SEPTEMBER TAHUN LALU! Iya, iya saya tahu, biasa aja dong, gausah ngecapslock.
Peminjaman buku di perpustakaan kampus adalah 10 hari dan lewat dari batas waktu akan dikenakan denda Rp1,000 per hari –kecuali masa peminjamannya diperpanjang. Kira-kira berapa ya denda untuk keterlambatan 10 bulan?

Terbesit rasa bersalah karena menahan koleksi perpustakaan terlalu lama –padahal bukunya cuma 2 hari selesai dibaca. Apakah selama 10 bulan meminjam buku itu saya baca berulang-ulang? Of course not. Bayangkan jika ada orang lain diluar sana yang mencari buku tersebut?

Berdasarkan hal tersebut saya menyimpulkan yang telah saya lakukan
adalah jahat *sambil memberi tatapan Dian Sastro
Mari kita bayangkan jika seluruh mahasiswa pengunjung perpustakaan melakukan hal yang sama seperti saya, maka muncullah beberapa persoalan. Pertama seperti yang saya singgung diatas, ketidakadilan hak sesama pemustaka dalam mengakses buku, persoalan kedua adalah terganggunya fungsi utama perpustakaan sebagai ruang penyimpanan buku sekaligus penyedia ruang baca. Seperti itu saudara saudari.

Jadi tinggal bagaimana kesadaran masing-masing aja sebagai sesama pemustaka. Termasuk kamu Ekha! Iya iya, masuk semester 5 nanti bukunya dibalikin. Wait, itu berarti bukunya masih akan tertahan dong sampai bulan ke 12? Sigh.


Selasa, 12 Juli 2016

Its Been a Long Time

Intro

 

Saya mulai memikirkan metode untuk membuka sebuah tulisan. Bukan berarti saya tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, hanya saja kali ini saya benar-benar butuh pencerahan. Karena secara personal, mengurai benang pikiran untuk membentuk sebaris kalimat selalu berakhir buntu dan puff, akhirnya menjadi seonggok judul tanpa isi.

 

Seringkali itu terjadi saya hanya akan menyalahkan Winamp atas kelancangannya mengganggu konsentrasi saat hendak mengetik huruf demi huruf. Tapi kedengarannya saya adalah tipikal cewek yang bisanya menyalahkan. Ya nggak sih? Ah sudahlah Ekha, akui saja.

 

Kenapa judulnya It’s been a long time?

 

Karena saya alay.

 

Karena saya merasa, seringkali di saat kita menjalani rutinitas hidup, sesuatu atau seseorang akan datang dan refleks pertama kita adalah “sudah lama ya?”

Sudah lama apanya?

Sudah lama kalian tidak berjumpa?

Sudah lama kalian mengharapkan perjumpaan itu?

Atau sudah lama kalian saling menunggu siapa di antara kalian yang akan mengalah untuk memulainya duluan?

Seperti yang kita lihat sekarang, saya sudah membuka tulisan ini dengan terlalu banyak tanda tanya.