Selasa, 19 Juli 2016

Misteri Soliter: Filsafat dalam Setumpuk Kartu Remi




 
MISTERI SOLITER
Filsafat dalam Setumpuk Kartu Remi
Terjemahan dari The Solitaire Mystery
(judul asli Kabalmysteriet dalam bahasa Norwegia)
Karya Jostein Gaarder
Mizan Publishing House
Cetakan 1, Januari 2016
Ilustrator Isi: Hilde Kramer
Desainer Sampul: Andreas Kusumahadi

Hans Thomas , 12 tahun, bersama sang ayah melakukan perjalanan ke Yunani untuk mencari sang ibu. Perjalanan panjang itu diwarnai kejadian-kejadian aneh. Seorang kurcaci memberi Hans Thomas sebuah kaca pembesar, seorang tukang roti memberikan sekerat roti berisi buku mini yang berkisah tentang pelaut yang terdampar di sebuah pulau; setumpuk kartu remi yang tiba-tiba hidup, dan seorang Joker yang nyaris tahu segala.

Siapakah mereka? Dan ke manakah mereka akan membawa Hans Thomas? Misteri Soliter adalah bacaan yang ditulis khusus bagi mereka yang ingin belajar filsafat  tanpa harus berkerut kening. Kisah di dalam kisah, karakter yang mungkin nyata, mungkin pula tidak, masa lalu dan masa depan. Sebuah kisah yang menyajikan teka teki dan eksplorasi kehidupan yang memukau.


Seperti kata Socrates, satu-satunya hal yang kuketahui adalah bahwa aku tidak tahu apa-apa. –Hans Thomas

Sangat jelas terpampang nyata dari judulnya: Misteri Soliter: Filsafat dalam setumpuk kartu remi, bahwa buku ini membahas misteri di balik permainan soliter dengan sedikit banyak berfilosofis dari sudut pandang Hans Thomas, anak laki-laki berusia 12 tahun.

Hans Thomas melakukan perjalanan dari Norwegia menuju Yunani untuk mencari ibunya yang katanya sedang mencari jati diri, namun tersesat dalam dunia mode. Kenapa ibunya harus ke Yunani dan bukannya ke Paris, London, atau Amerika jika hanya ingin menjadi model? Entah. Sampai akhir cerita hal ini masih ngeblur (bahasanya -_-)

"Saranku untuk semua orang yang berusaha menemukan jati diri adalah tetaplah tinggal di tempatmu sekarang. Kalau tidak, kau dalam bahaya besar kehilangan dirimu selamanya." –hal.26

Well, demi mencari sang ibu, Hans Thomas dan Pa melakukan perjalanan mobil melintasi berbagai negara sebelum tiba di Athena. Sepanjang membaca novel ini, saya sangat suka dengan kedekatan antara Hans Thomas dan ayahnya. Selama perjalanan mereka sesekali “berhenti untuk merokok”, bayangin bawa mobil ribuan kilometer cuy.

Kegiatan berhenti untuk merokok bukan perhentian yang biasa bagi mereka. Karena saat sudah menyalakan sebatang rokok dan melihat pemandangan menakjubkan dari negara yang dilewatinya, Pa akan mulai berfilsafat. Dan sepertinya, Hans Thomas yang masih berusia 12, mulai berpikir seperti ayahnya.

*OOT: oke saat mengetik sampai disini, saya tiba-tiba teringat dengan filmnya Jason Reitman yang judulnya Thank You For Smoking. Lain kali saja saya tulis, now focus on Hans Thomas and his father. Also his journey. Also his amazing book.
Saat sudah mencapai perbatasan Swiss, Hans Thomas dan Pa singgah di desa Dorf. Bukan karena ingin, tapi seorang kurcaci mengarahkan mereka ke sana. Sebelumnya kurcaci itu memberikan sebuah kaca pembesar kepada Hans Thomas.

“.. Sungguh, Anakku,  kau akan memerlukannya di Dorf. Karena kuberi tahu: begitu melihatmu, aku tahu kau akan memerlukan sebuah kaca pembesar kecil dalam perjalananmu.”

Kenapa Hans Thomas memerlukan sebuah kaca pembesar seperti yang kurcaci itu katakan? Apa yang sesungguhnya sedang menanti Hans Thomas di tengah perjalanannya? 

Kisah di dalam kisah

Saya membaca buku ini selama enam hari, dicicil sedikit demi sedikit. Maklum sih saat itu adalah bulan puasa, jadi orang dirumah sibuk dengan katering nasi kotak. Pukul empat sore sampai sekitar pukul sembilan malam saya sibuk ngantor (kantor apa kira-kira yang beroperasi sore hingga malam hari? I dare you to guess). 

Sebenarnya buku ini lebih asik dibaca sekali langsung selesai. Karena buku ini berisikan kisah di dalam kisah. Si anu menceritakan anu kepada si anu yang bercerita pada anu selanjutnya. Cerita dalam cerita sampai empat tingkat gaes. Empat.

Bisa bertambah jadi cerita lima tingkat jika kita mau menambahkan penulisnya, Jostein Gaarder yang bercerita tentang Hans Thomas yang membaca cerita berantai itu. Etapi yaudah sih, ide doang, gak usah diambil pikiran. Serius om, saya cuma bercanda.

Cuplikannya kira-kira sebagai berikut (bukan spoiler kok)
  1. Ludwig menulis buku roti kadet dan bercerita tentang Albert.
  2. Albert bercerita tentang pengalaman Hans si tukang roti yang pernah jadi pelaut yang sempat terdampar di pulau ajaib
  3.  Hans si tukang roti yang bercerita tentang Frode yang tinggal di pulau ajaib yang ternyata adalah .. no spoiler.
  4. Frode yang curhat kepada Hans si tukang roti perihal masa lalunya.

See? Memang lebih baik untuk tidak terlalu lama untuk jeda membaca.

Seru ya kalau di kehidupan nyata ada cerita yang secara private diwariskan turun temurun kepada generasi yang lebih muda.

“Aku menulis dalam bahasa Norwegia agar kau mengerti, tapi juga agar penduduk Dorf tidak bisa membaca kisah tentang para kurcaci. Kalau itu sampai terjadi, rahasia pulau ajaib akan menjadi sensasi. Tapi, sensasi selalu sama dengan sepotong berita, dan sepotong berita tidak pernah bertahan lama. Berita merebut perhatian hanya dalam waktu sehari, lalu dilupakan. Tapi, kisah para kurcaci tidak pernah boleh tenggelam dalam kilau berita sesaat. Lebih baik hanya satu orang yang tahu rahasia para kurcaci, daripada semua orang tahu tapi lalu melupakannya.”


Trivia: Penting Gak Penting

Buku ini sudah saya idam-idamkan sejak Februari, Alhamdulillah kesampaian tiga minggu yang lalu pas bulan puasa. Belinya di Gramedia MaRI, ditemani kedua sepupu saya, Zizu dan Aulia. Kami tiba disana sekitar pukul delapan, dan rame, maklum sih ya sabtu malam. Ternyata rame karena ada eventnya Telkomsel dan guest starnya MARCEL SIAHAAN! Tuhan memang satu, kita yang tak sama, haruskah aku lantas pergi, meski sama-sama suka beng beng~



Apa kau percaya, sebuah buku akan memberikan kesan berbeda tergantung suasana dan mood saat kau membacanya?

Mm, mungkin saja tidak. Atau mungkin karena saya saja yang sedang labil? hukhuk

Saya membaca buku Misteri Soliter selama enam hari dan sepertinya ada berbagai gejolak rasa tiap kali saya berhenti membaca lalu mulai membaca lagi lanjutannya.

Suatu saat saya lumayan sentimentil, tiba-tiba merasa Hans Thomas dan Pa (ayahnya) adalah laki-laki yang terlalu banyak mengoceh. Agak menyebalkan. Mereka biasa berbicara apa yang mereka pikirkan, sebut saja mereka berfilosofis, tentang apapun –terutama tentang hidup, dunia, pencarian jati diri, dan kartu remi.

Kau lihat? Kita sungguh sangat pintar, membuat bom atom dan mengirim roket ke bulan. Tapi, tak seorang pun di antara kita bertanya dari mana kita berasal. Kita ada di sini begitu saja, menempati tempat kita.” –hal.41

Ya. Bagaimana kau bisa memutuskan orang lain juga tidak berpikir atau mempunyai pendapat yang sama denganmu bahkan saat kau tidak mengenal orang lain? Sejak SMP saya mengenang apa yang dikatakan Harper Lee dalam bukunya To Kill a Mockingbird, “Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya”.

Itu aja sih.