Selasa, 12 Juli 2016

Its Been a Long Time

Intro

 

Saya mulai memikirkan metode untuk membuka sebuah tulisan. Bukan berarti saya tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, hanya saja kali ini saya benar-benar butuh pencerahan. Karena secara personal, mengurai benang pikiran untuk membentuk sebaris kalimat selalu berakhir buntu dan puff, akhirnya menjadi seonggok judul tanpa isi.

 

Seringkali itu terjadi saya hanya akan menyalahkan Winamp atas kelancangannya mengganggu konsentrasi saat hendak mengetik huruf demi huruf. Tapi kedengarannya saya adalah tipikal cewek yang bisanya menyalahkan. Ya nggak sih? Ah sudahlah Ekha, akui saja.

 

Kenapa judulnya It’s been a long time?

 

Karena saya alay.

 

Karena saya merasa, seringkali di saat kita menjalani rutinitas hidup, sesuatu atau seseorang akan datang dan refleks pertama kita adalah “sudah lama ya?”

Sudah lama apanya?

Sudah lama kalian tidak berjumpa?

Sudah lama kalian mengharapkan perjumpaan itu?

Atau sudah lama kalian saling menunggu siapa di antara kalian yang akan mengalah untuk memulainya duluan?

Seperti yang kita lihat sekarang, saya sudah membuka tulisan ini dengan terlalu banyak tanda tanya. 

 

 

 

Isi

 

Ada saat dimana kita berpikir kekanakan (atau bukan kekanakan, it depends on you), bahwa hidup  itu seperti sebungkus permen nano-nano, begitu banyak variasi rasa dan letupan-letupan kecil, menggelitik indera pengecapmu.

Tuh kan, lagi-lagi saya tak bisa membedakan antara bagian pembuka dan isi. To the point Ekha, tu-de-po-in!

Minggu lalu, tepatnya malam takbiran, seseorang menelfon. Biasa aja sih.

 

Maksudnya..

Maksudnya dari sekian banyak teman yang saya harapkan kabarnya di malam yang Fitri itu, dia yang menelfon.

 

Kami berbicara selama hampir satu jam sebelum handphone saya tiba-tiba mati karena sudah dua hari malas di-charge. Membuat rasa penasaran yang menggantung di kaki gunung batinku. Semakin ke sini kok semakin ngalay ya? Pulang aja Ekha, pulang. Kesehatanmu itu loh.

 

Sebelum pembicaraan kami terputus, sekitar menit keempat puluh berapaan, tau nggak dia bilang apa? Ya belum taulah, kan saya belum bilang -_- kalau nanya yang seriusan dikit lah.

 

Dia berdeklarasi “Tidak ada sekali pun, barang sehari atau satu jam pun yang terlewati tanpa berharap bisa berbicara denganmu lagi”.

 

Ya ampun kak, kedengarannya sangat gombal! Dapat dari mana sih? Saya cuma menjawab dalam hati: Kak, tidakkah kau tahu betapa ingin kukatakan hal yang sama? Tapi gengsi wanita di atas segalanya. LOL.

 

Iya, dia kakak senior saya di fakultas yang sama namun beda jurusan. Saya mengenalnya di penghujung semester tiga dan dia semester tujuh (Desember kemarin, itu artinya delapan bulan yang lalu), tapi baru bisa dikatakan berkenalan sebulan kemudian sih, saat ada event apalah di kampus.

 

Sejak itu kami sering ngobrol, bertukar pikiran via telfon –kedengarannya idih banget ya? HAHAHA. Tidak bisa dibilang sering juga, karena kami nelfonan cuma sekali sebulan neng.

 

Sekali. Sebulan. Dan topik obrolan kita random BGT.

 

Tapi lebih sering dia yang berbicara, soalnya saya lebih suka mendengarkan. Bukannya sok kalem, tapi serius dia selalu tahu apa yang ingin diucapkannya, seolah-olah dia berada di pulau terpencil dan saya satu-satunya manusia yang menemaninya.

Ternyata dia lumayan asik. Padahal sebelum-sebelumnya, saya emoh berurusan dengan senior di kampus, apalagi dia ketua dewan mahasiswa apalah apalah, malas BGT

 

Tunggu, tunggu..

Bahkan sampai sejauh ini saya belum sampai pada poinnya. Sebetulnya apa yang coba saya tuliskan disini?

 

Saat menulis judul tulisan ini, ada banyak yang terlintas di pikiranku. Terutama pemikiran semacam kapan terakhir saya merasakan.. merasakan apa ya? Pokoknya perasaan senang semacam ini. Perasaan senang ada yang mau berbicara dengan kita dan sebaliknya, mendengarkan cerita kita. I mean, selain teman gahol sehari-hari. Mengerti kan? Dimengertiin saja lah kalau katanya Nurmuliani Rusli.

 

Ada saat dimana kita sangat butuh perlu berbicara dengan seseorang, about anything. Karena setegar apapun seseorang memendam, ‘melepaskan’ adalah lebih baik tjiaaah

Bagi saya hal itu tidak selalu mudah. Karena saya agak sulit untuk terbuka. Sekalinya kebelet mau curhat, teman-teman saya sedang sibuk dengan urusannya (begitu pun sebaliknya).

 

Makanya, begitu tahu ada seseorang yang dengan sukarela menawarkan dirinya –setelah sekian lama, saya sangat berterima kasih. Ditambah fakta saat itu saya sedang jengah di tengah kesibukan dan sangat butuh didengarkan –serta mendengarkan.

Saya punya sahabat dan teman, tapi tidak bisa diganggu setiap saat, saya sangat mengerti rasanya diganggu and I hate dat. Pacar? I’m not dating. Lol.

 

 

Penutup

 

Finally, tulisan saya sampai di penutup. Di bagian penutup biasanya berisi kesimpulan, saran dan atau kritik, kan?

 

Kesimpulannya kira-kira begini: Kadang hal-hal sepele yang biasa luput dari perhatian kita, memberi rasa bahagia tersendiri. Jadi, selalu syukuri sekecil apapun yang kita dapatkan. 

 

And just itu yang ada on my mind sih.

 

Selesai.