Jumat, 27 Maret 2020

Corona dan Yuzuru Hanyu

Dokumentasi pribadi. Hari pertama bioskop CGV close karena pandemi.



Siapa yang sangka sebuah virus bisa meliburkan seluruh sekolah dan kantor selama 2 minggu. 2 minggu yang bisa berlanjut hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Saya takut membayangkan nasib manusia —bukan bumi tentu saja, nasib bumi baik-baik saja sampai hari kiamat tiba.


Tapi libur tidak berlaku untuk semua orang.

Banyak yang masih harus bekerja, meski penuh khawatir, untuk bekerja mencari nafkah di luar sana. 


Kalau kamu diliburkan oleh kantormu dan masih diberi gaji. Kamu 'sangat beruntung'. Kalau kamu masih bisa kerja dari rumah, tidak kehilangan pekerjaan, tentu kamu juga 'beruntung'.

Banyak karyawan, termasuk seseorang yang kukenal dipaksa untuk ‘resign’ dari pekerjaannya. Ini akal modus perusahaan agar tidak perlu memberi pesangon ketika karyawan yang meminta keluar, perusahaan tidak mau menanggung karyawannya selama lockdown.

Sabtu, 15 Februari 2020

Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2020 di CGV Makassar




Festival Sinema Australia Indonesia atau disingkat FSAI diselenggarakan di Makassar pada hari ini, 15 Februari 2020. Tahun ini adalah tahun ke lima FSAI, yang (telah) dilaksanakan di lima kota besar Indonesia yaitu, Jakarta, Surabaya, Makassar, Bandung, Mataram, dan di Yogyakarta untuk pertama kali. FSAI 2020 adalah persembahan Australia Connect, menampilkan serangkaian sektor kreatif Australia yang berkembang pesat melalui musik, film, makanan, dan seni.


sumber

Selain membawa beragam sinema ke penonton Indonesia, FSAI memberikan kesempatan bagi mahasiswa film dan sineas muda berbakat untuk belajar dari pembuat film dan alumni Australia. Selain film Australia, ada juga beberapa film lokal Indonesia yang ditayangkan, seperti Bebas, Susi Susanti: Love All dan Kulari ke Pantai.

***


Berbeda saat Festival Film Jerman 2019 beberapa bulan yang lalu, kali ini di FSAI aku cukup beruntung bisa nonton 3 film.


sumber


Dari keempat film di atas, aku tidak kesampaian nonton Angel of Mine karena kehabisan tiket. Sistem pengambilan tiketnya adalah ambil satu jam sebelum pemutaran, atau bisa dibilang antri on the spot. Jadi, ketika sementara di dalam audi menonton Susi Susanti, tiket untuk film terakhir sudah habis. Tapi tidak apalah. Rasanya sudah senang bisa marathon 3 film bagus dan gratis. Di mana lagi kalau bukan di festival film. Banyak film bagus yang terbatas pemutarannya di festival tertentu dan tidak tersedia di platform film.


Bebas (2019)

Sebelumnya aku dan Ikha sudah menonton film Bebas bersama teman SMP kami, Yurika, September 2019 lalu saat ulang tahun kami. Tapi berhubung film ini sangat bagus dan rewatch material, sayang sekali untuk dilewatkan begitu saja. Film ini adalah remake dari film Korea Selatan berjudul Sunny. Film Bebas dan Sunny secara plot memang sama, tapi tentu ada beberapa perbedaan menyesuaikan dengan kondisi dan budaya di Indonesia. Aku juga sangat suka dengan soundtracknya. 


Emu Runner (2018)

Film indie garapan Imogen Thomas ini berkisah tentang Gem, seorang anak perempuan suku Aborigin di Australia yang baru saja kehilangan ibunya secara mendadak. Kehilangan sosok ibu yang berdampak pada Gem dan keluarganya, membuat Gem melampiaskan dengan bermain di hutan dan berlari. Di sinilah Gem menjalin kedekatan dengan alam dan hewan. Gem ternyata bisa berkomunikasi dengan emu, binatang tradisional yang sering diceritakan oleh ibunya. Gem, si pelari cilik menggambarkan pemberontakan anak yang kehilangan kehangatan keluarga yang relatable dengan mengangkat unsur-unsur tradisional.


Susi Susanti: Love All (2019)

Adalah film biopik yang ditulis Syarika Bralini dan disutradarai Sim F. Sayang sekali aku baru menonton film keren ini. Dari mana saja aku?

Sejak kecil aku begitu kagum dan menghormati olahraga bulutangkis berkat para atletnya. Berdedikasi dan menebar motivasi. Termasuk legenda pebulu tangkis putri, Susi Susanti. Namanya selalu ada di deretan atlet berprestasi. Tapi aku ga nyangka lho ternyata beliau memang sekeren itu! Ih keren sekaliii mau sungkem.

Film ini tidak hanya menggambarkan kerja keras Susi Susanti menjadi atlet dunia, tapi juga perjalanan cintanya dengan sang suami yang juga atlet bulu tangkis, Alan Budikusuma. Ah, terima kasih FSAI, aku mendapatkan kehormatan untuk menonton film keren ini.


Bonus foto di sela jeda film:






Sabtu, 18 Januari 2020

Salam Cinta untuk Semua Perempuan yang Berlawan (Termasuk Menolak Catcalling)



Suatu hari di lini masa twitter, di antara banyak cuitan, saya tertarik dengan satu artikel yang dibagikan Magdalene.co. Tulisan berbahasa Inggris yang berjudul Stop Telling Women in Hijab to Accept the “Salaam” Catcalls, ditulis oleh Aulia Rizda Kushardini. Dalam tulisannya, Aulia menekankan pandangannya sebagai wanita berhijab yang tidak lepas dari catcalling –saya tidak mengganti kata tersebut dengan padanan kata yang sekiranya cocok dalam bahasa Indonesia karena memang belum menemukan makna rasa yang sama dengan istilah tersebut. Catcalling sendiri berarti siulan, komentar, panggilan mengenai hal-hal bersifat seksual terhadap perempuan yang lewat di jalan.

 

Tulisan Aulia mengungkapkan kegelisahan yang sama dengan semua perempuan saat harus berjalan kaki. Termasuk perempuan yang menggunakan hijab juga cadar pun tetap tidak bebas dari catcalling. Meski muncul dengan variasi yang berbeda. Saya sebut beberapa contohnya ya: Assalamualaikum ukhti. Masyaallah ukhti. calon istriku yang salihah. Dsb dsb yang kebanyakan terdengar cringey memang. Kalimat-kalimat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai sebuah pujian. Menurutnya, pujian mestilah bermaksud untuk membangun satu sama lain dalam prosesnya mengembangkan relasi antara pemberi dan penerima pesan. Bahkan bila yang dilontarkan adalah sebuah kalimat salam sekalipun tidak bisa kita lihat sebagai sebuah interaksi. Catcalling hanya eksis dari si pemberi. Kenapa banyak yang menutup mata betapa suitan seperti itu mampu membunuh kepercayaan diri seseorang yang tidak menyukainya. Selanjutnya bisa saja lebih berbahaya daripada catcalling. Karena ketidaksungkanan pelaku catcalling merupakan gambaran relasi kuasa yang timpang.

 

Minggu, 05 Januari 2020

Habitus Parasite



Di hari pertama tahun 2020, saya tidak mempersiapkan sesuatu yang spesial karena saya bukan penjual martabak. Saya menghabiskan hari libur di rumah melakukan hal-hal biasa namun membahagiakan. Lihatlah betapa sederhananya diriku. Mencuci piring, membuat mokacino sacet, membuat bakwan dan bersiap menonton maraton film-film bagus sangatlah membuatku gembira alih-alih keluar di antara tetes hujan yang sedang lucu-lucunya, mencari tempat tongkrongan di café, di mall, di kedai fast-food... huh sejujurnya saya juga akan senang kalau mengunjungi tempat-tempat tersebut. Tapi setiap keluar dari tempat itu saya merasa sedikit hampa. Saya tidak akan bohong kalau semua tempat itu memang menyenangkan. Indah dan berkilau.
Namun bagi seseorang yang sadar akan ketimpangan sebagai keprihatinan etis, agaknya dia akan merasa kurang nyaman berada di lingkungan hedonis. Tapi di sisi lain, justru karena fakta akan ketimpangan yang signifikan itu, tempat-tempat glamor dan barang-barang mewah semakin diminati sebagai upclassing, di mana masyarakat seolah-olah mengalami mobilitas sosial karena peningkatan penghasilan –yang ditunjukkan dengan peningkatan konsumsi atau pemilikan barang. Selera atau cita rasa segelintir orang akan barang terlahir dari struktur sosial dan dipertahankan untuk menegaskan status atau kedudukannya. Pierre Bourdieu mengistilahkannya sebagai habitus.