Rabu, 21 Agustus 2019

Wihsudah... Tapi Tak Seindah Instastory




Sore itu saya menangis sendirian dalam waktu yang tidak sebentar. Hanya seorang diri, di lantai 2 gedung dosen yang saat itu sedang sepi. Saya bahkan tidak sanggup mengajak bicara diri sendiri, untuk setidaknya, menenangkan diri. Saya memberi waktu pada diri saya sendiri mencairkan emosi selagi tidak ada orang lain yang melihat betapa jeleknya penampilanku saat itu. Seharian di kampus mengurus ina-inu.


Koridor yang sepi ini rasa-rasanya menyokong ambiance kesahajaan dalam kesendirian. Suara langkah kaki pun nyaris tidak terdengar. Saya perlahan bisa mengatur napas dan merilekskan otot-otot yang tegang. Saya mengatur ulang diri saya, membasuh wajah, melaksanakan salat Ashar masih di lantai yang sama saya menangis tadi. Saya menyelesaikan salat dengan perasaan yang lebih baik, bola mata berangsur dingin, jantung berdetak normal, dan gejolak di perut yang sedikit mereda. Saya mendambakan nasi dan sop ayam Bunda Adab. Semoga belum habis.

Hampir 1 jam yang lalu, saya berada di lantai 4. Berhadap-hadapan dengan dosen penguji yang kutemui sore ini. Saya menemui ibu dosen di ruangannya pukul 16.00 setelah pagi tadi tidak sempat atau menolak menguji skripsi saya pada jadwalnya. Saya mencoba menjelaskan permasalahannya di paragraf ini tapi saya tidak bisa menuliskannya dengan baik, kalimat di kepalaku bersusun bertele-tele dan itu menyedihkan. Saya mengakui kelalaian saya, tapi saya tidak bisa melakukan apa-apa. Semuanya hectic, segala sesuatunya seperti untouchable.

***


Ketika pagi.


Saya tiba 30 menit lebih awal, menunggu di depan ruangan Ibu Dosen sambil membayangkan skenario terbaik dan terburuk—sejauh saya bisa membayangkan—yang bisa kujumpai begitu masuk ke ruangan tersebut.


Selasa, 06 Agustus 2019

Pelarangan Buku: Reproduksi Kebencian

Oleh: Ekha Nuh  dan Muh. Akbar

 

(“Siapakah pemilik sejarah?

Siapa yang menentukan

siapa yang jadi pahlawan

dan siapa yang penjahat?

Siapa pula yang menentukan

akurasi setiap peristiwa?”)

-Leila S. Chudori, Pulang

 

Saat duduk di bangku kelas VIII sekolah menengah pertama di Makassar, tepatnya tahun 2009, adalah kali pertama saya didongengkan kisah G.30.S/PKI. Sebagai seorang bocah yang benar-benar awam akan cerita yang konon terjadi 31 tahun sebelum saya lahir ke dunia, saya akan mempercayai semua yang diberitahukan oleh guru sejarah saya di kelas. Saya memperhatikan ‘kisah pengkhianatan’ tersebut dengan penuh khidmat, bukan hanya karena saya adalah siswa bureng (pemburu ranking), tapi kisah pembunuhan 7 jenderal besar itu bagi saya yang baru berusia 13 tahun, too cruel to be true.

“Kalian semua tahu kan kronologi peristiwa pengkhianatan PKI?”, setidaknya semua siswa menggelengkan kepala kecuali siswa yang memang tidak memperhatikan si Ibu guru sejarah. “Hah? Kalian tidak pernah diberitahu orang tua kalian?” tapi setidaknya kala itu kami semua familiar dengan reputasi buruk kata “PKI”, dalam kehidupan masyarakat kata PKI setara dengan kalimat buruk level paling tinggi yang bisa kalian sebutkan.

“Ingat baik-baik kekejian PKI, semua yang PKI dan anak-anaknya tidak berhak sedikitpun atas kehidupan di Indonesia”. Di akhir kelas, guru sejarah tersebut –yang hingga kini masih kuingat dengan baik, menyuruh kami untuk menonton film Pengkhianatan G.30.S/PKI. Film ‘dokumenter’ tersebut akan diputar ulang dan didiskusikan lagi di akhir bulan September. Oh wake me up when September ends~