Rabu, 10 Oktober 2018

Buku & Film: Aruna dan Lidahnya



Baru kali ini saya ke bioskop tapi penontonnya se-sepi ini. Hanya ada 5 orang di dalam studio, termasuk saya dan (sebut saja dia) Boy. Mungkin karena overshadowed dari film The Nun atau Something in Between? Ya memandangi Jefri Nichol menggoda, tapi Nicholas Saputra kan sayang banget dilewatkan~

Kebetulan sutradaranya Edwin, yang saat ini jadi favoritnya (sebut saja dia) Boy setelah dia nonton film Posesif. Dan film ini dikemas menarik oleh Edwin, menariknya film ini memakai teknik breaking-the-fourth-wall, di mana protagonis seolah berbicara langsung ke kamera/penonton. Seperti yang bisa dijumpai di film-film Warkop DKI. Teknik ini agak tricky karena bisa jadi melempem kalau tidak dieksekusi dengan baik. Tapi dalam Aruna dan Lidahnya, didukung Dian Sastro dan para cast yang lihai storytelling, teknik ini menjadi trik sulap yang membuat kita semua bisa merasakan kelezatan yang dirasakan karakternya. 



Saya sendiri menonton filmnya sebelum menyelesaikan novelnya Laksmi Pamuntjak. Karena novelnya terbilang kaya rasa (aslinya memang terasa padat), banyak terminologi buatan Laksmi dalam buku ini, sehingga saya mesti membaca dengan khidmat. Sayangnya saya lagi zibuk hehe (sibuk mulu).

Secara garis besar, film dan novel Aruna & Lidahnya bisa dibilang multi-tema, tapi fokus utamanya adalah kuliner (sepertinya). Ya sepertinya tema utamanya kuliner deh soalnya pekerjaan Aruna selaku ahli wabah di sini kesannya hanya tempelan, kita lebih digiring untuk menemani Aruna menikmati makanan.

Justru yang ‘kuliner banget’ dari film ini adalah pekerjaan Bono, sahabat Aruna yang merupakan chef dan ambisi Aruna mencari Nasi Goreng si mbok. Padahal penulis sudah membawa tema yang unik di belantika novel kiwari, seperti ahli wabah, flu unggas, plus segala institusi fiksi seperti Kementerian Mabura (Kemakmuran dan Kebugaran Rakyat). Meskipun begitu, kuliner dan romansa yang dihadirkan sebagai bahan baku dari cerita Aruna & Lidahnya, tetap tersaji menarik.

 

Menurut hemat saya, tidak terjadi konflik yang begitu berarti, bahkan saya pengen nanya konfliknya di bagian mana, tau-tau udah ‘resolusi’. Jujur ada sedikit kebimbangan menentukan konflik ceritanya, yang menjadi sorotan utama yang mana? Apakah kejanggalan kasus flu unggas dan birokrasi yang korup, ataukah keresahan hati Aruna akan perilaku Farish yang mendadak caper, atau nasi goreng si mbok. Mungkin akan lebih baik jika salah satu di antaranya difokuskan dan dikembangkan lagi. Meskipun konfliknya tidak terlalu terasa, overall film garapan Edwin dari cerita karya Laksmi Pamuntjak sukses memanjakan mata dan kelaparan saya, sekian.