Senin, 31 Oktober 2016

Mata yang Enak Dipandang





 Mata yang Enak Dipandang 
Ahmad Tohari
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama 2013

“Buku ini merupakan kumpulan lima belas cerita pendek Ahmad Tohari yang tersebar di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997.
Seperti novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah dengan segala lika-likunya.
Ahmad Tohari sangat mengenal kehidupan mereka dengan baik. Oleh karena itu, ia dapat melukiskannya dengan simpati dan empati sehingga kisah-kisah itu memperkaya batin pembaca.”



Seperti yang sudah disebutkan, buku ini berisi 15 cerpen Ahmad Tohari yang pernah dimuat di media cetak. Dan judul buku ini, Mata yang Enak Dipandang diambil dari salah satu cerpen di dalamnya.

Daftar cerpen pengisi:
Mata yang Enak Dipandang (Hal. 7)
Bila Jebris Ada di Rumah Kami (Hal. 19)
Penipu yang Keempat (Hal. 29)
Daruan (Hal. 39)
 
Warung Penajem (Hal. 51)
Paman Doblo Merobek Layang-layang (Hal. 63)
Kang Sarpin Minta Dikebiri (Hal. 75)
Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan (Hal. 87)
Sayur Bleketupuk (Hal. 97)
Rusmi Ingin Pulang (Hal. 107)
Dawir, Turah, dan Totol (Hal. 117)
Harta Gantungan (Hal. 131)
Pemandangan Perut (Hal. 143)
Salam dari Penyangga Langit (Hal. 155)
Bulan Kuning Sudah Tenggelam (Hal. 165)



Mata yang Enak Dipandang

“Ah, betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang. Ya, kukira betul, mata orang yang suka memberi memang enak dipandang.” –hal.14

Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak dipandang dalam kereta kelas satu. Melalui jendela ia sering melihat berpasang-pasang mata di balik kaca tebal itu; mata yang dingin seperti mata bambu, mata yang menyesal karena telah tertumbuk pada sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa membawa kesan dari dunia yang amat jauh. –hal.15


Aku kemudian penasaran setelah mendengar pendapat pengemis tunanetra, Mirta dan penuntunnya, Tarsa. Bagi pengemis yang tiap harinya bergumul di antara ribuan pasang mata manusia –makhluk sesamanya– ada perbedaan yang mereka temukan dalam cara mereka memandang. Manusia sama yang selalu melihat berbeda dan juga selalu ingin terlihat berbeda padahal sama saja.

Lalu aku penasaran lagi. Bagaimana aku terhadap orang lain? Apa aku sudah terlihat menyenangkan? Atau paling tidak, apa ada yang merasa mataku layak untuk dipandang?





Trivia

Membaca kelima-belas cerpen di buku ini kemudian mengobati rasa rinduku entah pada apa. Sejak kecil aku sangat menggemari cerpen ataupun cerbung dari koran atau majalah lama –sebut saja– Femina, Kartini, Kompas, termasuk Bobo (tentu saja), entah penulisnya Ahmad Tohari ataupun bukan –mungkin karena masih kecil aku malah gak merhatiin penulisnya siapa– aku sangat menyukai gaya tulisan yang terbit sekitaran tahun 80-90an tersebut, ada khasnya tersendiri.

Buku ini sebenarnya sudah lama ingin sekali aku baca, tapi tidak pernah kesampaian beli. Padahal novel ini hampir selalunya kulewati di deretan rak buku fiksi. Tapi akhirnya baca novel ini. Dipinjamkan dia, malah pakai acara dibawakan ke kelasku segala. Hahaha.

Kenapa pula buku ini? “Mungkin karena baginya kaupunya mata yang enak dipandang”, itu kata Rika Patikasari. Yaampun Rikaaaa, untung aku gak lagi mellow, jadi gak baper baper amat.





Di antara kelima-belas cerpen di buku ini, paling suka yang mana?

Aku? Semuanya! Bagiku semua cerpen ini sangat indah sampai aku membacanya berulang-ulang. Tapi ada beberapa tulisan yang sangat menyentuh dan terbawa pikiran hingga beberapa waktu. Di antaranya Mata yang Enak Dipandang, Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan, serta Bulan Kuning Sudah Tenggelam.