Selasa, 06 Agustus 2019

Pelarangan Buku: Reproduksi Kebencian

Oleh: Ekha Nuh  dan Muh. Akbar

 

(“Siapakah pemilik sejarah?

Siapa yang menentukan

siapa yang jadi pahlawan

dan siapa yang penjahat?

Siapa pula yang menentukan

akurasi setiap peristiwa?”)

-Leila S. Chudori, Pulang

 

Saat duduk di bangku kelas VIII sekolah menengah pertama di Makassar, tepatnya tahun 2009, adalah kali pertama saya didongengkan kisah G.30.S/PKI. Sebagai seorang bocah yang benar-benar awam akan cerita yang konon terjadi 31 tahun sebelum saya lahir ke dunia, saya akan mempercayai semua yang diberitahukan oleh guru sejarah saya di kelas. Saya memperhatikan ‘kisah pengkhianatan’ tersebut dengan penuh khidmat, bukan hanya karena saya adalah siswa bureng (pemburu ranking), tapi kisah pembunuhan 7 jenderal besar itu bagi saya yang baru berusia 13 tahun, too cruel to be true.

“Kalian semua tahu kan kronologi peristiwa pengkhianatan PKI?”, setidaknya semua siswa menggelengkan kepala kecuali siswa yang memang tidak memperhatikan si Ibu guru sejarah. “Hah? Kalian tidak pernah diberitahu orang tua kalian?” tapi setidaknya kala itu kami semua familiar dengan reputasi buruk kata “PKI”, dalam kehidupan masyarakat kata PKI setara dengan kalimat buruk level paling tinggi yang bisa kalian sebutkan.

“Ingat baik-baik kekejian PKI, semua yang PKI dan anak-anaknya tidak berhak sedikitpun atas kehidupan di Indonesia”. Di akhir kelas, guru sejarah tersebut –yang hingga kini masih kuingat dengan baik, menyuruh kami untuk menonton film Pengkhianatan G.30.S/PKI. Film ‘dokumenter’ tersebut akan diputar ulang dan didiskusikan lagi di akhir bulan September. Oh wake me up when September ends~

 

Karena di jurusan yang kuambil sewaktu SMK tidak ada mata pelajaran Sejarah Indonesia sama sekali, setidaknya doktrin sejarah yang kudapatkan di bangku SMP tersebut terus kurawat. Waktu berlalu dan kepercayaanku terhadap guru sejarahku menjadi bahan renunganku di masa sekarang.

Film Pengkhianatan G.30.S/PKI mudah untuk diakses, cari di Youtube juga ada. Bahkan setiap tahun digelar nobar untuk ‘mengedukasi’ masyarakat tentang ‘kejahatan PKI’. Kalau presiden kita masih Soeharto, film tersebut kuyakin akan diremake dan diputar di bioskop seluruh Indonesia. Semua wajib nonton, mending kalau gratis, kayaknya sih bayar tiket sendiri hahaha. Astaga, sepertinya saya juga sudah mengetik dengan penuh kebencian.

Film panjang nan menjemukan dalam perspektif remaja millennial ini mengilustrasikan kronologi pemberontakan PKI (versi negara jaman Orba) yang terjadi dini hari tepat 1 Oktober 1965. Terlepas dari pro kontra film tersebut, tapi peristiwa yang digambarkannya, membentuk pengetahuan umum masyarakat dari narasi yang diciptakan negara dan menjadi salah satu babak penting dalam perjalanan sejarah Indonesia modern.

Terlepas dari narasi versi negara, sebetulnya terdapat banyak literatur alternatif yang menyediakan data dan informasi terkait dengan peristiwa yang menewaskan setidaknya 7 jenderal tersebut (kita semua tentunya turut berduka untuk itu). Di antaranya dituliskan secara cermat oleh John Roosa dalam karyanya Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Pada halaman-halaman awal buku tersebut kutemui narasi yang berbeda dengan yang kurapal dari guru sejarah di SMP. Tersibak bahwa orang-orang di balik peristiwa penculikan serta pembunuhan tersebut, melalui pesan udara dari stasiun pusat Radio Republik Indonesia (RRI) menyatakan diri sebagai anggota pasukan yang setia kepada Presiden Soekarno dan menamai gerakan mereka yakni Gerakan 30 September (selanjutnya dikenal dengan G-30-S). Adapun tujuan aksi yang mereka umumkan ialah untuk melindungi Presiden dari komplotan jenderal kanan yang akan melancarkan kudeta.[1]

Catatan penting yang ikut mengiringi G-30-S, khususnya dalam konteks konstelasi politik ialah fakta bahwa persis setelah penculikan dan pembunuhan ketujuh Jenderal menjadikan kekosongan terhadap jabatan komando Angkatan Darat yang sebelumnya dipegang oleh Jenderal Ahmad Yani (salah seorang dari ke-7 jenderal yang terbunuh). Hal ini membuat Mayor Jenderal Soeharto –sebelumnya menjabat komandan KOSTRAD–mengambil alih jabatan tersebut. Selanjutnya, memanfaatkan jabatan baru tersebut, Soeharto lantas melancarkan serangan balik terhadap G-30-S. Tak butuh waktu lama, pasukan yang dipimpin langsung oleh Soeharto hanya membutuhkan waktu kurang dari seminggu untuk menumpas serta melenyapkan G-30-S. Bahkan mereka yang terlibat belum sempat menjelaskan perihal tujuan mereka kepada publik. Termasuk pimpinan G-30-S belum sempat mengklarifikasi melalui Konferensi Pers dan tampil di hadapan para fotografer untuk memperlihatkan diri.[2] Perihal inilah yang masih menyisakan banyak tanda tanya terkait peristiwa pada 1 Oktober yang melibatkan G-30-S.

Kendati sulit untuk memahami G-30-S secara holistik, namun gerakan tersebut mempunyai dampak besar terhadap wajah Indonesia selanjutnya. Salah satunya ialah, menjadi dalih bagi Soeharto untuk merongrong legitimasi Soekarno, Bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia dan hasilnya dapat dipastikan, Soeharto menggelar karpet merah menuju tampuk kekuasaan. Pengambil-alihan kekuasaan negara inilah yang kemudian dikenal sebagai kudeta merangkak, dilakukakan di bawah selubung usaha untuk mencegah kudeta.

Selanjutnya adalah plot penting tapi terabaikan, termasuk oleh si guru sejarah. Bahwa apa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 tersebut, bukanlah peristiwa tunggal. Tapi menjadi sebuah awal mata rantai peristiwa-peristiwa yang terjadi setelahnya. Termasuk genosida yang mencoreng prinsip perikemanusiaan dan perikeadilan, meludahi cita-cita kemerdekan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Peristiwa tersebut tercatat sebagai tragedi kemanusiaan terbesar kedua setelah Holocaus Nazi/Hitler terhadap bangsa Yahudi dalam rentang skala, waktu, dan jumlah korban yang ditimbulkannya. Ribuan manusia diburu, dipenjara tanpa pengadilan, diasingkan ke pulau-pulau terpencil, dibunuh dan dibantai secara massal di berbagai wilayah di Indonesia yang menjadi anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan termasuk mereka yang tidak tahu-menahu perihal G-30-S dan sekalipun hanya memiliki ikatan keluarga dengan anggota PKI. Itulah prinsip kesalahan kolektif –sebuah prinsip yang sudah ditolak oleh semua negara di dunia berdasarkan rule of law.[3]

Pasca keberhasilannya menduduki tampuk kekuasaan negara Indonesia, agenda pertama yang dijalankan oleh Soeharto ialah merumuskan strategi bagaimana ia melegitimasi serta mempertahankan kekuasaannya dengan cara menciptakan narasi tunggal –yang kebenarannya belum pasti–tentang bagaimana cara tujuh jenderal tersebut dibunuh (menciptakan kisah-kisah tentang penyiksaan dan mutilasi, seperti pada film Pengkhianatan G.30.S/PKI); tentang identitas para pelaku yang bertanggung jawab penuh atas peristiwa tersebut (menuduh setiap anggota PKI yang bersalah).[4] Dengan demikian rezim ini setia kepada suatu peristiwa yang tidak faktual, melainkan pada suatu fantasi yang dibuatnya sendiri, yang oleh Badiou istilahkan “kesetiaan kepada citra khayali (simulacrum)” –“meniru sebuah proses kebenaran yang actual,” namun memutarbalikkan aspirasi universal tentang “peristiwa kebenaran” yang sejati.[5] Ihwal tersebut terus direproduksi dengan menempatkan Indonesia seolah senantiasa berada dalam ancaman PKI. Senada dengan itu, strategi menyemai anti-ideologi komunis digalakkan, entah melalui cara-cara represif maupun dengan produk-produk budaya (sastra, prasasti, dan film) .[6]  Deretan strategi tersebut terbukti menjadi senjata paling ampuh bagi rezim otoriter tersebut dalam mempertahankan kekuasannya hingga 32 tahun lamanya.

Dewasa ini, hingga memasuki 21 tahun reformasi, trauma orde baru masih hidup bahkan senantiasa dihidupkan di alam pikiran masyarakat Indonesia.  Menyemai kebencian akan ideologi komunisme, tetap tumbuh subur dipraktikkan oleh aparat negara, bahkan dalam beberapa kasus juga diteladani bahkan dipimpin oleh berbagai ormas. Mulai dari pembubaran disertai tindakan represif terhadap kegiatan-kegiatan diskusi seputar peristiwa 65` dan setelahnya, yang dinilai berseberangan dengan narasi resmi orba hingga pelarangan dan penyitaan buku-buku yang dianggap memuat ajaran Marxisme-Leninisme. Bahkan yang menggelitik ialah tidak sedikit penyitaan terhadap buku-buku yang mereka identifikasi berhaluan kiri hanya karena sampulnya berwarna merah atau sekadar bergambarkan wajah Karl Marx sekalipun buku tersebut sebenarnya berisi kritikan terhadap pandangan Marxisme.

Tindakan penyitaan dan pelarangan buku-buku kiri yang masih saja terjadi dari tahun ke tahun termasuk kejadian baru-baru ini tentunya sangat disayangkan. Kendati hingga saat ini TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang di dalamnya tercantum soal pembubaran PKI dan larangan serta pengembangan terkait ajaran-ajaran komunisme, leninisme dan marxisme belum dicabut, akan tetapi tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Terutama lagi mengingat kebebasan berekspresi, berpendapat, berkumpul, dan berserikat dijamin penuh oleh UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia. Lebih spesifik lagi, pada pasal 28C poin 1 menyatakan “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh maanfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Tentunya terlebih dahulu penggalian ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara, salah satunya melalui aktivitas membaca buku, termasuk buku kiri sekalipun. 

Tindakan pelarangan dan penyitaan buku-buku kiri merupakan sebuah lagu lama, menciptakan musuh negara melalui reproduksi kebencian dan anti terhadap ajaran Marxisme atau ideologi tertentu lainnya. Suatu kondisi yang tentunya menjadi preseden buruk terhadap keberlangsungan demokrasi ke depan yang dibangun begitu susah di Indonesia dan terutama lagi terhadap nalar sehat masyarakat.

Saya ragu tindakan penyitaan buku-buku kiri, baik dilakukan oleh aparat negara maupun yang diinisiasi oleh masyarakat sipil (ormas), berangkat dari pembacaan kritis pada buku-buku yang mereka anggap berbahaya, ataukah itu hanya berangkat dari kebencian buta yang ditanamkan sejak lama pada hal-hal berbau komunis. Lihat palu arit, sikat. lihat gondrong, larang. Lihat buku merah, sita. Panjang umur orba.

Seandainya mereka betul-betul membaca buku tersebut, fakta yang akan mereka temukan barang kali kontradiktif dengan apa yang mereka tuduhkan, bahwa pandangan marxisme justru memiliki benang merah dengan Pancasila. Sulit untuk dibantah bahwa marxisme merupakan paham yang secara terang anti terhadap feodalisme, imperialisme, kolonialisme dan singkatnya menyatakan perang terhadap kapitalisme. Dalam diskursus marxisme, yang sedianya akan ditemukan dalam buku-buku kiri, menjelaskan secara gamblang bahwa struktur politik dan ekonomi yang menindas disepanjang sejarah peradaban manusia merupakan kondisi yang diciptakan oleh feodalisme, imperialisme, kolonialisme dan tentunya oleh kapitalisme dewasa ini. Sementara satu sisi marxisme memuat seperangkat teori dan praksis untuk mendorong perjuangan emansipasi manusia/masyarakat dari kondisi ketertindasan, alienasi dan perbudakan yang ada. Seturut dengan itu, dalam kajian keislaman, kita akan menemukan banyak literatur termasuk dalam al-Qur’an yang menuliskan kata mustadh’afin yang bisa diartikan sebagai manusia-manusia yang hidup dalam kemiskinan yang tercipta secara struktural, kesengsaraan, kelemahan, ketidakberdayaan, ketertindasan, keterbudakan, alienasi dan singkatnya penderitaan tiada hentinya. Salah satu ayat yang merujuk kepada kata mustadh’afin dan seruan untuk membelanya ialah surah Annisa ayat 75 yang artinya:

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. (Q.S Annisa: 75)        

Melihat kenyataan tersebut, saya (dan mungkin kalian semua) gregetan mempertanyakan kembali sebenarnya buku-buku yang memuat paham marxisme berbahayanya di mana ya? Ketika jawaban mereka adalah buku-buku tersebut berbahaya bagi kemanusiaan −keadilan, kesetaraan dan persamaan−maka saya pikir itu adalah sebuah kekeliruan besar. Bolehlah kita mendorong curiga kritis dalam memaknai kata ‘berbahaya’ yang mereka gaungkan setiap kali melakukan razia buku kiri. Justru kata ‘berbahaya’ tersebut memiliki tendensi yang sama dengan labelling yang dilekatkan oleh Amerika Serikat terhadap PKI pada tahun 60an silam.

Dalam perspektif ekonomi-politik, pada dasarnya AS memiliki kepentingan besar terhadap sumber daya alam di negara-negara wilayah Asia, terutama lagi di Indonesia dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Kepentingan itu tak lain ialah mantera sakral yang dijunjung oleh penganut sistem kapitalisme, yaitu akumulasi kapital. Kepentingan tersebut sekonyong-konyong mendapat hambatan besar dari keberadan PKI saat itu. Terlebih lagi pemuda PKI gencar melakukan demonstrasi dan pemboikotan serta penutupan terhadap konsulat-konsulat AS yang ada di Indonesia. Kondisi inilah yang membuat AS menyatakan PKI berbahaya terhadap agenda jahat neoimperialismenya. Jika benar kata ‘berbahaya’ dimaknai seperti itu, maka pada dasarnya penyitaan buku-buku kiri tersebut hendak menyapu bersih paham yang berseberangan dengan kepentingan jahat kapitalisme, si biang keladi dari segala bentuk kesenjangan sosial dan juga kerusakan ekologi yang mengancam keberlangsungan hidup umat manusia.

Generasi muda sekarang –seperti saya 10 tahun yang lalu yang mendengarkan dan diperlihatkan kebencian ini bisa serta merta menelan begitu saja indoktrinasi sejarah, menjadi penerus bangsa yang paranoid, mereproduksi kebencian buta, lalu mengumbarnya seolah semua itu lazim. Kita tidak pernah berharap bahwa merazia buku akan terus ada dan berlipat ganda, karena yang boleh ada dan berlipat ganda cuma perasaan cinta ehe maksud saya kebenaran.

 

Referensi:

[1] Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Lebih mendalam terkait produksi kebencian terhadap PKI melalui produk budaya bisa dibaca di buku Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film.