Senin, 25 April 2016

Pacaran dengan Senior, Seangkatan Atau Junior?

Park Dong Joo and Noona Yoon Soo wan in Korean drama Angel Eyes  (source: www.instiz.net)

Pernah gak sih kalian iseng bertanya: asyikan punya gebetan senior, seangkatan, atau bahkan junior? Atau justru udah pernah dengan ketiganya? Sama, saya juga. Ngga bangga sih—idih ya cuma iseng aja mau bahas ginian HAHAHA lucu gak? Ketawa dong.

Saat ini saya Alhamdulillah jomblo single udah tahun kedua. Saya pernah seperti anak muda lainnya, merasakan cinta monyet. Gimana sekarang? Hm udah tobat pacaran, banyakan mudharatnya sih, lebih baik fokus selesaikan kuliah dan nunggu dihalalin *tsahhh. Tapi balik lagi postingan ini memang niatnya untuk iseng!

1. Pacar pertama: KAKAK KELAS

Guru penjaskes sekaligus wali kelas saya saat SMP dulu selalu bilang: "Tidak ada masa yang paling indah selain masa SMA" dan kalimat beliau itu saya aminkan setelah lulus tahun 2014 lalu. Memasuki semester pertama di SMK (SMA, SMK, dan MA sederajat kan? Selanjutnya jangan protes ya kalau saya sebutnya SMA, soalnya udah terbiasa sih :p), adalah saat dimana akhirnya saya punya pacar, dia kelas 3 dan saya kelas 1. Kenapa saya mau? ISENG.

Saat itu saya yang masih anak baru, hm sedikit mendamba sosok kakak kelas beken yang di sekolah dikenal berbau organisatoris, olahraga iya, dan terlihat lumayan intelek, hahaha kalian para cewek pasti pernah dong di posisi itu kan. Dan ditaksir kakak kelas punya gengsi tersendiri, setidaknya begitu pemikiran gadis sendu yang baru menginjak usia 15 itu.
Padahal ya, setelah akhirnya saya udah jadi senior, saya tahu dari teman-teman angkatan yang cowok sangat lihai menggebet junior —kayak belut sawah. Karena apa? Karena selain mereka cantik cantik, mereka juga mudah untuk dibuai. Bukannya mendramatisir, tapi seperti itulah fakta di lapangan dan dianggukin sebagian dari mereka.

Saya dan M1 (mantan pertama) pacarannya tidak lama, hanya 1.. 2.. hm 10! Hanya 10 hari dan berakhir sedikit drama. Kronologinya bermula sejak saya mulai bergabung di berbagai organisasi sekolah dan dia yang kebetulan menjabat sebagai wakil ketos tentu saja bikin kita sering ketemu. Hingga suatu hari yang gak penting diingat (tapi teteup saya ingat juga), sepulang sekolah M1 sms, minta ketemuan di depan aula sekolah, saya pikir si kakak mau malak, ehgataunya malah nembak!

Karena dasarnya saya itu plinplan dan sangat belum terbiasa, sampainya di rumah saya bengong sendiri. "Jadi sekarang saya punya pacar?" saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa ya saya pacaran? Ah padahal kan suka aja enggak. Putusin aja ya? Padahal baru satu jam jadian, tahan tahan aja dulu sampai seminggu.

Di hari ke-9 saya membulatkan tekad untuk memutuskan hubungan kami dengan alasan mainstream yang ibarat makanan sudah sangat basi untuk dikonsumsi: FOKUS BELAJAR. Saya mulai mengetik sms minta putus berikut penjelasannya, soalnya saya ragu bisa bicara via telfon apalagi ketemu tatap muka, khawatirnya tidak bisa bicara apa-apa dan yang ada malah memperkeruh suasana yang dari awal sudah tidak jernih. Smsnya terkirim dan handphone saya nonaktifkan sampai keesokan harinya. Barulah di hari ke-10, hp saya sudah aktif kembali dan panggilan M1 akhirnya masuk, dia mulai mencerca dengan berbagai pertanyaan dan bersikeras untuk tidak putus. Saya ehm bilang kalau kita resmi putus dan menutup telfon dengan dinginnya karena sambil minum es marimas. Hoho apakah saya setega itu memutuskan lelaki tersebut? Tidak.

Faktanya, tepat di hari saya minta putus, saya mengetahui bahwa ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya, you know lah complicated relationship gitu, which is membuat saya terlihat seperti: pelampiasan atau apalah istilahnya. Parahnya lagi saya kenal dengan mantannya itu. 

Sialan memang tapi lucu sih, saya yang awalnya merasa bersalah menjadikannya pacar iseng ternyata end-up seperti ini. Menyesal sih sedikit, tapi bagus buat jadi pelajaran ke saya secara pribadi. Dan begitulah akhir cerita pertama. Tapi saya tidak usah repot-repot move on, toh dari awal belum tersemai benih-benih cinta di antara kami. Mungkin saat itu kami sebatas kagum-kaguman aja, hahaha.
 2. Pacar Kedua: ADEK KELAS

Mungkin sebagian cewek-cewek di luar sana ada yang merasa kalau pacaran dengan adek-adekan sedikit uhh.. how to say that.. Menurut kalian sendiri bagaimana? Setelah putus dari pacar pertama di kelas 1 semester 1, saya masih betah menjomblo sampai kelas 3 semester 2, lama ya? Haha. Sempat dekat sih dengan banyak beberapa cowok, tapi males, ngapain pacaran sama anak sekolahan (sok kritis), etapi ujung-ujungnya jadian juga, dengan adek kelas, di jurusan yang sama pula. Tidak seperti sebelumnya, kami jadian bukan karena iseng, tapi benar-benar suka. And to be honest, di antara ketiga kategori usia ini, pacaran dengan yang lebih muda, adalah yang paling susah dilupakan (tsaahh) dan karena fakta tersebut saya memutuskan menyimpan ceritanya untuk diriku sendiri HAHA.

Ada yang saya pelajari dari perpisahan kami cielah
  •  Kalau suka, pertahankan
  • Kalau suka, jangan pedulikan komentar miring di luar sana 
  • Kalau suka, perbedaan usia bukan halangan (apalagi kalau cuma 2 tahun)
Sayangnya ketiga poin di atas saya sadari lama setelahnya. Jahat memang. Tapi arang sudah jadi abu (karena nasi sudah jadi bubur sudah mainstream banget). Saya sadar dan tetap senang karena setelah kejadian kemarin kami masih bertukar kabar layaknya teman biasa. Better than nothing. Setelah menggalau karena adek kelas, saya bisa bilang kalau:
3. Pacar Ketiga: SEANGKATAN

Punya pacar seumuran mungkin yang paling sering kalian alami, terutama jika berada di lingkungan yang sama, punya hobi dan kegemaran sama, atau lebih nyaman daripada bersama dengan kakak atau adik. Tapi gak sedikit cowok yang akhirnya terjebak dalam friendzone-nya cewek atau sebaliknya.

Saran sih, kalau kalian masih bisa merasa nyaman di friendzone apalah apalah, lebih baik jangan paksain keluar dari zona tersebut. Seringnya kejadian sih, karena kita sama-sama cari asyiknya, malah semakin akrab dan akhirnya berteman sampai sekarang.  Saya juga punya perbandingannya, setelah putus dari mantan kedua, saya.. entah kesambet apa saat itu: jadian dengan teman sendiri, yang akhirnya saya sesali. Tapi kalau diingat penyesalan memang datangnya belakangan kan? HAHA. Pacaran dengan teman sendiri, setelah putus biasanya hubungan pertemanan tak bisa lagi seperti saat sebelum pacaran tersebut (Fakta di lapangan).
 
Kesimpulan terakhir dari:
 PENUTUP (biar postingannya gak melempem)

Semua yang saya tulis di atas murni personal though, tidak ada maksud menyinggung siapa-siapa, gak ada ajakan untuk kalian mempercayai semua nasib percintaan cerita saya di atas. Sekali lagi untuk akhir yang bijak ambil yang baik-baiknya aja ya. Pernah dengar kan: Orang pintar adalah yang bisa belajar dari pengalaman orang lain. Baiklah, sampai jumpa di postingan iseng selanjutnya~

Terakhir,
cuma mau bilang..

”Bukti kesungguhan cinta yang sebenarnya adalah dengan akad“